Minggu, 01 Mei 2011

Retorika sebagai Seni

0

Seorang pemimpin, seorang pelobi yang ulung, calon legislatif, ahli pidato, para penceramah keagamaan, sales, para pedagang kaki lima, seorang Guru, dsb, mau tidak mau harus menguasai retorika bahasa, karena dengan retorika yang baik dan benar maka kehendak yang ada dalam pikiran yang ingin kita sampaikan kepada orang lain bisa tersampaikan lebih jauhnya lagi keinginan kita akan terwujud.

Kita sering mendengarkan atau menyimak seseorang yang sedang berbicara baik itu diatas mimbar maupun tidak, pada satu waktu kita merasa enak, cepat faham ketika mendengarkan pemaparan dari sang pembicara, pada lain waktu kita di buat pusing tujuh keliling untuk bisa memahami apa maksud yang hendak disampaikan oleh sang pembicara itu, kata-kata atau bahasa yang disampaikan si pembicara itu tidak tentu ujung pangkal, sulit difahami alur pembicaraannya, kenapa?.

Disinilah Retorika mengambil peran sangat penting dalam mengatasai hal-hal seperti yang disebutkan diatas, lantas apa yang disebut dengan retorika itu? Seperti apa? Apakah bisa dipelajari?. Untuk menjawab hal-hal seperti itu maka saya akan mencoba memberi sedikit penjelasan, disini bukannya saya telah ahli dalam ber-retorika, tapi  sebagai sumbangsih saya terhadap keilmuan, khususnya dalam memahami logika, dan bahasa.

Definisi Retorika

Retorika atau dalam bahasa Inggris rhetoric berasal dari bahasa Latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Menurut Cleanth Brooks dan Robert  Penn Warren, mereka mendefinisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif.

Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa retorika mempunyai pengertian sempit: mengenai bicara, dan pengertian luas: penggunaan bahasa, bisa lisan, dapat juga  tulisan. Oleh karena itu ada sebagian orang yang mengartikan retorika sebagai  public speaking atau pidato di depan umum, banyak juga yang beranggapan bahwa retorika tidak hanya berarti pidato di depan umum, tetapi juga termasuk seni menulis.

Sejarah Retorika

  1. Yunani
Kalau kita menelaah sejarah retorika, sungguh retorika memiliki sejarah yang sangat panjang sekali. Para ahli berpendapat bahwa retorika sudah ada sejak manusia ada.  Akan tetapi sesuai dengan tema saya “Retorika sebagai Seni”  lebih khususnya seni dalam bicara sudah di pelajari mulai pada abad kelima sebelum Masehi ketika kaum Sofis di Yunani mengembara dari tempat yang satu ketempat yang lain untuk mengajarkan  pengetahuan mengenai politik dan pemerintahan dengan penekanan terutama pada kemampuan berpidato. Pemerintah, menurut kaum Sofis harus berdasarkan suara terbanyak atau demokrasi sehingga perlu adanya usaha membujuk rakyat demi kemenangan dalam pemilihan-pemilihan. Maka berkembanglah seni pidato yang membenarkan pemutarbalikkan kenyataan demi tercapainya tujuan. Yang penting, khalayak bisa tertarik perhatiannya dan terbujuk.

Kaum Sofis berpendapat bahwa manusia adalah “makhluk yang berpengetahuan dan berkemauan”. Manusia mempunyai penilaian sendiri mengenai baik-buruknya sesuatu, mempunyai nilai-nilai etikanya sendiri, karena itu kebenaran suatu pendapat hanya dapat dicapai apabila seseorang dapat memenangkan pendapatnya terhadap pendapat-pendapat orang-orang lain yang berbeda dengan norma-normanya. Jadi sangat tidak mengherankan bila pada masa itu orang-orang melatih diri untuk memperoleh kemahiran dalam berbicara sehingga inti pembicaraan beralih dari mencari kebenaran kepada mencari kemenangan.

Tokoh aliran Sofisme ini adalah Georgias (480-370 SM) yang dianggap sebagai guru retorika yang pertama dalam sejarah manusia. Filsafat mazhab Sofisme ini dicerminkan oleh Georgias yang menyatakan bahwa kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan.

Adapun yang menjadi lawan dari pendapat Georgias adalah pendapatnya Protagoras (500-432 SM) dan Socrates (469-399 SM). Protagoras berpendapat bahwa kemahiran berbicara bukan demi kemenangan, melainkan demi keindahan bahasa. Sedangkan bagi Socrates, retorika adalah demi kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya karena dengan dialog kebenaran akan timbul dengan sendirinya.

Dari sini kita dapat manarik kesimpulan bahwa yang membedakan kaum Sofisme dan Filusuf adalah terletak pada tujuan, kalau kaum Sofisme bukan kebenaran yang menjadi tujuan tetapi kemenangan berargumenlah yang menjadi tujuan, sementara kaum filusuf, kalah atau menang dalam berargumen bukanlah yang menjadi tujuan, tetapi bagi mereka menjungjung nilai-nilai kebenaranlah yang paling utama.

Ada seseorang yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Socrates dan Georgias yaitu Isocrates yang pada tahun 392 SM mendirikan sekolah retorika dengan menitikberatkan pendidikannya pada pidato-pidato politik. Isocrates, dia berpendapat dan menjadi filsafatnya yaitu, bahwa hakikat pendidikan adalah kemampuan membentuk pendapat-pendapat yang tepat mengenai masyarakat. Dengan sekolahnya itu, Isocrates selama 50 tahun berhasil mendidik murid-muridnya menjadi pemimpin yang baik.

Plato seorang murid dari Socrates yang sangat terkenal, sependapat dengan Isocrates, yaitu bahwa retorika memegang peranan penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi pemimpin. Menurut Plato, retorika sangat penting sebagai metode pendidikan, sebagai sarana untuk mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan sebagai sarana untuk mempengaruhi rakyat. Plato mengatakan bahwa retorika bertujuan memberikan kemampuan menggunakan bahasa yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan dalam.

Yang tidak kalah penting sebagai salah seorang tokoh retorika pada zaman Yunani adalah Aristoteles yang sampai sekarang pendapatnya masih banyak dikutip. Aristoteles sangat berlainan dengan pendapat tokoh-tokoh lainnya yang memandang retorika sebagai suatu seni, Aristoteles memasukkannya sebagai bagian dari filsafat. Dalam bukunya, Retorika, dia mengatakan, “Anda, para penulis retorika, terutama menggelorakan emosi. 


Ini memang baik, tetapi ucapan-ucapan Anda lalu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan retorika yang sebenarnya adalah membuktikan maksud pembicaraan atau menampakkan pembuktiannya. Ini terdapat pada logika. Retorika hanya menimbulkan perasaan pada suatu ketika kendatipun lebih efektif dari pada silogisme. Pernyataan yang menjadi pokok logika dan juga bagi retorika akan benar bila telah diuji oleh dasar-dasar logika.” Demikian Aristoteles. Selanjutnya dia berkata bahwa keindahan bahasa hanya dipergunakan untuk empat hal yaitu yang bersifat:

1)      Membenarkan (corrective),
2)      Memerintah (instructive),
3)      Mendorong (sugestive),
4)      Mempertahankan (defensive).

Dalam membedakan bagian-bagian struktur pidato, Aristoteles hanya membaginya menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Pendahuluan,
  2. Badan,
  3. Kesimpulan.
Bagi Aristoteles, retorika adalah the art of persuasion. Lalu ia mengajarkan bahwa dalam retorika, suatu uraian harus:

1)      Singkat,
2)      Jelas,
3)      Meyakinkan.

Demikian retorika di Yunani.



  1. Romawi
Di Romawi yang mengembangkan retorika adalah Marcus Tulius Cicero (106-43 SM) yang menjadi termasyhur karena suaranya dan bukunya yang berjudul antara lain de oratore.

Sebagai seorang tokoh retorika Cicero meningkatkan kecakapan retorika menjadi suatu ilmu. Berkenaan dengan sistematika dalam retorika, Cicero berpendapat bahwa retorika mempunyai dua tujuan pokok yang bersifat:

(1)   Suasio (anjuran)
(2)   Dissuasio (penolakan).

Cicero mengajarkan bahwa dalam mempengaruhi pendengar-pendengarnya, seorang retor harus meyakinkan mereka dengan mencerminkan kebenaran dan kesusilaan. Dalam pelaksanaanya, retorika meliputi:

(a)    Investio

Ini berarti mencari bahan dan tema yang akan dibahas. Pada tahap ini bahan-bahan dan bukti-bukti harus dibahas secara singkat dengan memperhatikan keharusan pembicara:

1.      Mendidik,
2.      Membangkitkan kepecayaan,
3.       Menggerakan hati.

(b)   Ordo collocatio

Ini mengandung arti menyusun pidato yang meminta kecakapan sipembicara dalam memilih mana yang lebih penting, mana yang kurang penting. Penyusun pidato juga meminta perhatian terhadap:

1.      Exordium (pendahuluan)
2.      Narratio (pemaparan)
3.      Confirmatio (pembuktian)
4.      Reputatio (pertimbangan)
5.      Peroratio (penutup).

Demikianlah retorika di Romawi yang banyak persamaannya dengan retorika di Yunani.


  1. Zaman Modern
Pada abad ke-17 di Eropa muncul tokoh-tokoh orator yang kenamaan, seperti Oliver Cromwell dan Lord Bollingbroke.

Retorika biasanya berkembang pada masa-masa krisis, begitu pula dengan kemunculan Cromwell di Inggris. Dalam mengajarkan teknik retorika, Cromwell mengatakan bahwa dalam melaksanakan retorika:

a.       Harus mengulang hal-hal yang penting,
b.      Harus menyesuaikan diri denga sikap lawan,
c.       Bila perlu tidak menyinggung persoalan,
d.      Harus orang-orang menarik kesimpulan sendiri,
e.       Harus menunggu reaksi.

Sedangkan menurut Henry Bollingbroke bahwa bila kekuasaan politik berlandaskan kekuatan fisik, maka retorika merupakan kekuatan mental.

Pada abad ke-20 di Jerman muncullah seorang tokoh retorika yang termasyhur yaitu Adolf Hitler yang berhasil memukau rakyat Jerman sehingga bersedia melakukan apa pun. Resep Hitler dalam retorikanya ialah: mengunggulkan diri sendiri, membusukkan dan menakut-menakuti lawan, kemudian menghancurkan. Hakikat retorika Hitler  adalah  senjata psikis untuk memelihara massa dalam keadaan perbudakan.

Hitler tidak saja mencari anggota, tetapi juga – bahkan ini yang terutama -  mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Bagi Hitler mereka tak perlu sadar, tak usah berpikir, asal ikut saja, asal bergerak saja, tidak usah semuanya menjadi anggota partai. Demikian Hitler.

Sementara muncul pula di Prancis seperti Jean Jaures, di Amerika ada Abraham Lincoln, di Indonesia ada Ir. Sukarno, Presiden RI yang pertama paling dikenal dengan sebutan sng proklamator. Ir. Sukarno sebagai seorang yang faham dan penelaah retorika, dapat dilihat dari tulisan-tulisannya seperti yang dimuat dalam Fikiran Ra’jat pada tahun 1933 dan  Panji Islam pada tahun 1940  (terhimpun dalam buku Dibawah Revolusi Indonesia).

Dalam artikel berjudul “Kuasanya Kerongkongan”, Bung Karno mengutip pendapat-pendapat mengenai retorika yang ditulis oleh Willi Munzenberg, Konrad Heiden, Trotzky, dan Stenberg.

Dibawah ini adalah pendapat Bung Karno ketika ia membandingkan beberapa ahli pidato:

“Menurut keterangan Konrad Heiden, seorang biograf  Hitler  yang terkenal, memang belum pernah di sejarah dunia ada orang yang  menyamai Hitler tentang ‘Massen bewegen konnen’ itu. Menurut Heiden, di dunia barat hanyalah satu orang yang menyamai Hitler tentang kecakapan berpidato: Gapon salah seorang yang terkenal dari sejarah kaum agama di Rusia pada permulaan abad ini. Saya kira Konrad Heiden belum pernah mendengarkan Jean Jaures berpidato.

            Jean Jaures adalah salah seorang pemipin kaum buruh Perancis, yang biasa disebut orang “Frankrijks grootste wolkstribuun’ dari abad akhir-akhir ini. Menurut anggapan saya, sesudah saya membandingkan pidato-pidato Adolf Hitler – pidato-pidato Adolf Hitler bukan sahaja saya banyak baca, tapi juga sering saya dengarkan di radio – maka Jean Jaures adalah maha hebat. Trotzky, yang sendirinya juga juru-pidato yang maha haibat, di dalam dia punya buku ‘Mijn leven’ yang terkenal, membandingkan pidato-pidato Jean Jaures itu sebagai ‘air terjun yang membongkar bukit-bukit karang’, sebagai ‘een waterval die rotsen omvergooit’.”

Banyaknya Bung Karno membaca buku mengenai retorika didasarkan atas keyakinannya bahwa retorika memegang peranan penting dalam kepemimpinan.

Mudah-mudahan bermanfaat bagi pencinta ilmu!


(download dalam bentuk document)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting