Minggu, 29 Desember 2013

Eksistensi Pemuda Persis di Tengah-Tengah Modernitas

0


Oleh: E. Ruswandi

PENDAHULUAN

Hampir setiap negara dewasa ini, terutama negara berkembang, bergerak dengan sebuah dorongan “kehendak untuk menjadi modern”, berjalan menuju ke suatu arah yang disebut sebagai “kebudayaan modern”. Modernisasi menjadi proyek yang normatif di negara-negara berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan. Dan jika kita memahami modernisasi sebagai proses fisik dan material untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam wujud mekanisme industri, strategi militer, sistem pendidikan, sistem informatika, aneka macam bisnis, dan sebagainya, maka sosok “kebudayaan modern” itu dapat diamati, nampak jelas di mata kita. Akan tetapi, demi mengejar ketertinggalan menuju ke arah sana, banyak negara berkembang tergesa-tergesa mengambil tindakan tanpa bersikap kritis. Mereka hanya mengambil sikap pragmatis, enggan membuang waktu untuk menilik kenyataan “mental” di baliknya.

 
Persoalan menjadi lain kalau kita memperhatikan para pemikir yang langsung terlibat dalam masyarakat industri maju di Barat yang mengambil sikap kritis terhadap kebudayaan ilmiah modern yang memang sudah terjadi di sana. Bagi para pemikir tersebut, selain memberi manfaat yang besar bagi kehidupan manusia modernitas bersama agen-agennya yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki problema yang tak kalah besar yang mengancam kehidupan manusia.

Sejak awal abad ke-20, beberapa pemikir Barat memiliki kesangsian yang mendasar terhadap modernitas. Para pemikir, seperti Martin Heidegger, Horkheimer dan Adorno, berusaha memperlihatkan bahwa modernisasi bukan sekedar perjalanan yang terseok-seok, melainkan juga perjalanan ke sebuah disintegrasi total, sebuah malapelataka sejarah umat manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty, Foucault, dan Derrida, juga terkandung “nafsu” yang sama untuk menyingkapkan bahwa “kehendak untuk menjadi modern” tak kurang dari “kehendak untuk berkuasa”. Diskusi mereka mempertaruhkan sebuah akses pengaruh ke dunia praktis justru karena mereka membicarakan apa yang kurang disadari oleh para praktisi modernisasi dan pembangunan, yaitu soal dehumanisasi, alienasi, totalitarianisme birokratis, teknokratisme, dan fenomena-fenomena krisis lainnya.

Di antara tokoh-tokoh tersebut, ada beberapa yang tergabung dalam kelompok yang disebut Mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule). Pemikiran kritis Mazhab Frankfurt disebut dengan nama Teori Kritik Masyarakat (Kritische Theorie der Gesellchaft) atau “Teori Kritis”. Apa yang telah digarap oleh para tokohnya adalah melukiskan bagaimana proses rasionalitas masyarakat bermuara ke dalam sebuah tragedi besar. Karena mendewakan rasionalitasnya yang semula dianggap memberi otonomi dan kebebasan, manusia modern justru terperangkap dalam jaringan birokrasi yang impersonal dan kehilangan makna serta aspirasinya sebagai makhluk bermartabat. Rasionalitas yang semula sangat kritis terhadap mitos-mitos tradisional yang menteror manusia pada gilirannya menjadi mitos atau ideologi baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi.


PEMBAHASAN

Pengertian Modern

Ada beberapa pendapat mengenai modernisasi, diantaranya:
Modernisasi adalah proses pembangunan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demi kemajuan.
Widjojo Nitisastro: modernisasi mencakup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis

Soerjono Soekanto: modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan Sosial Planing.

Istilah “modernitas” merupakan substansiasi kata sifat “modern” (Latin: moderna), yang artinya adalah “saat ini”, atau sering juga persis searti dengan “baru”. Konsep “modernitas” juga diartikan baik sebagai konsep waktu (zaman baru) maupun sebagai konsep epistemis (kesadaran baru). Secara epistemis, modernitas terdiri atas empat elemen pokok. Pertama, subjektivitas yang reflektif, yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.

Kedua, subjektivitas berkaitan dengan kritik atau “refleksi”, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah. Ketiga, kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, progresif, unik, tak terulangi, dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber yang langka. Sebab itu, modernitas memiliki kata-kata kunci seperti revolusi, evolusi, transformasi, dan seterusnya. Artinya, kebaruan itu mungkin. Dengan singkat, modernitas mendukung rasionalitas (lebih dari wahyu), kritik (lebih dari sikap naif), dan progres (lebih dari pemeliharaan tradisi). Dan elemen keempat yang mendasari ketiga yang lain adalah universalisme. Dengan itu dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas itu bersifat normatif untuk segala masyarakat yang mau melangsungkan modernitas. Secara historis, sifat normatif ini diaktualisasikan dalam gerakan humanisme Renaisans abad ke-16 dan perkembangan sains dan teknologi yang sangat menentukan gerakan-gerakan Pencerahan abad ke-18 di Eropa. Sejak suatu masyarakat melangsungkan modernisasi, masyarakat itu kehilangan sikap naifnya, dan melibatkan diri pada suatu ”proyek sejarah universal” untuk mencapai tujuan tertentu di masa depan.

Namun ternyata, bagi sebagian kalangan terdapat problema dalam modernitas dan segala upaya yang menuju ke arah sana (modernisasi). Weber misalnya, menyebutkan bahwa modernisasi tak lebih dari “rasionalisasi” (Rationalisierung). Modernitas adalah suatu rasionalisasi, yaitu perluasan rasionalitas ke segenap sektor kemasyarakatan, sebagaimana tampak dalam birokratisasi dan kapitalisasi.

Postmodernis, misalnya, marah terhadap upaya tersebut, karena wataknya yang bukan hanya universalistis, melainkan juga totaliter. Bataille mengkritik rasionalisasi tak kurang sebagai homogenisasi, dan Foucault menyingkapkannya sebagai praktek kuasa untuk mengeksklusi mereka yang tidak “rasional”. Karena itu, rasionalisasi adalah represi totaliter yang tersentralisasi serta mengeliminasi heterogenitas. Ekses itu secara historis terbukti dalam proyek Stalinisme, Nazisme, Fasisme, tetapi juga teknokratisme, yang menyingkirkan pluralisme pendapat. Singkatnya, ekses itu adalah totalitarianisme baru (gaya lama: totalitarianisme agama).

Kritik Mazhab Frankfurt terhadap kebobrokan masyarakat modern dilakukan dalam dua cara. Pertama, menelusuri kembali akar munculnya cara berpikir positivistik masyarakat modern dengan merefleksikan proses rasionalisasi dalam masyarakat Barat. Kedua, menunjukkan bahwa cara berpikir positivistik yang mewujudkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku sebagai ideologi yang diterima secara sukarela oleh masyarakat modern. Melalui kedua cara ini mereka ingin mengkritik bukan hanya masyarakat modern sebagai struktur  yang menindas, melainkan terlebih cara berpikir positivistik yang menjadi ideologis dan mitos dalam arti sesungguhnya.

Menurut pandangan Mazhab Frankfurt, peradaban Barat yang telah dirintis sejak masa Yunani purba itu terjebak dalam proses pembusukan dan keruntuhannya dengan munculnya cara berpikir saintis yang menguasai masyarakat Barat sehingga menghasilkan Perang Dunia II, fasisme, Stalinisme, dan cara hidup konsumeristis dalam masyarakat kapitalis Amerika Serikat. Fenomen itu, menurut mereka dilatarbelakangi oleh penerapan cara berpikir positivistik melalui teknologi dan ilmu pengetahuan pada masyarakat, agar masyarakat itu dapat dikontrol seperti alam.


Peranan Agama dalam Kehidupan Modern-Industrial

Berbicara tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan konotasi modernitas yang mengalami – atau malah menderita – ekses. Ekses itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi yang, menurut Ashadi Siregar, hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan – suatu pernyataan yang bersifat karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah obyektiviitas. Dengan sendirinya obyektivisme itu akan sering berbenturan dengan subyektivisme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan (alienation). Ilmu dan teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya. Sehingga disebut saja profane atau duniawi. Dan keprofanan berada dalam posisi yang antagonistis dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut tadi.

Bangsa Indonesia sekarang sedang membangun. Dalam pembangunan itu yang diusahakan ialah peningkatan kemampuan ekonomi, sekalipun Indonesia tidak termasuk negara maju dengan masyarakat modern, namun ia menghadapi persoalan modern. Dalam hubungannya dengan agama ialah, apakah ia masih mampu berperan dalam memberikan alternatif cara hidup yang tidak terlampau terikat pada ukuran-ukuran materiil. Hal itu berarti, dengan perkataan lain, apakah agama sanggup menjadi sumber inspirasi dan konsep bagi suatu pola pembangunan yang dapat dijadikan alternatif bagi yang ada sekarang?

Industrialisasi sebagai salah satu alternatif yang mampu membebaskan manusia dan mendobrak tembok-tembok penghalang di dunia ini, ternyata juga menimbulkan keadaan sebaliknya, yaitu proses depersonalization yang juga berarti dehumanization menjadikan alienasi (keterasingan) seseorang dari diri dan kemanusiaannya sendiri.

Sekarang apakah yang diperlukan oleh masyarakat industrial yang melahirkan alienasi itu?
Yang jelas, “mengembalikan jalannya jarum jam” adalah sesuatu yang tidak mungkin. Industrialisasi merupakan proses sejarah. Bukan karena suatu determinisme sosial dan historis, tetapi agaknya itulah yang menjadi ketetapan hati semua bangsa di dunia. Tetapi manusia memerlukan sesuatu yang sekurang-kurangnya mempunyai efek pengereman kecenderungan dan sifat dasar masyarakat industrial tadi. Manusia memerlukan sesuatu yang dapat secara pasti memberikan jawaban atas pertanyaan: apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia ini? Mungkin sesuatu itu ialah agama.

Mengapa saya menyebutkan “mungkin”, karena memang keraguan segera timbul jika melihat kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Skeptisisme ini sepenuhnya beralasan, karena memang senantiasa ada jurang- lebar atau pun sempit – antara ajaran dan kenyataan. Maka yang dimaksudkan dengan agama disini ialah dalam bentuknya yang mendalam dan universal (keagamaan an sich), bukan yang ada secara sosiologis.

Dengan menyadari kesulitan yang amat besar untuk menegaskan tentang apa yang dimaksudkan dengan “agama murni”, namun kiranya beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan pangkal tolak penelaahan dan perenungan lebih lanjut:
1.    Kebutuhan atau kepercayaan kepada Alloh SWT dengan segala atributnya.
2.    Hubungan yang “personal” dan intim dengan Alloh SWT.
3.    Doktrin dengan fungsi-sosial harta kekayaan: tujuan hidup bukanlah pada terkumpulnya kekayaan itu tetapi pada cara mendapatkan dan penggunannya untuk sesama manusia.
4.    Pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak dapat didekati secara empiris atau induktif, melainkan dengan cara deduktif atau “percaya”.
5.    Kepercayaaan akan adanyaa kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia) ini yang lebih tinggi nilainya.

Dengan asumsi bahwa kita semua telah mengetahui tentang doktrin atau ajaran-ajaran agama, sekalipun pokok-pokoknya saja, maka uraian ini lebih menekankan kepada arti penting (significance) ajaran-ajaran itu di dalam masyarakat, khususnya masyarakat industrial, dengan terlebih dahulu mencari pengertian tentang sifat-sifat dan akibat-akibat masyarakat industrial itu yang mengandung nilai kemanusiaan, positif maupun negatif.


Masyarakat Industeri dan Proses Dehumanisasi

Perlu kita ketahui terlebih dahulu nilai-nilai yang dominan di dalam masyarakat industrial, sebab
dehumanisasi adalah suatu proses yang yang menyangkut masalah nilai-nilai.
Masyarakaat industrial menuntut dan melahirkan nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan.

Untuk menjadi industrial, suatu masyarakat harus disiapkan untuk menerima nilai-nilai yang bakal menunjang proses industrialisasi itu. Tetapi lebih penting lagi ialah bahwa setiap idustrialisasi, dikehendaki ataupun tidak, pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh suatu masyarakat non industrial. Keharusan-keharusan itu, betapapun buruknya, menjelma menjadi tata nilai resmi. Pelanggaran-pelanggaran atas nilai itu  akan mengakibatkan sanksi-sanksi yang langsung dirasakan oleh pelakunya menurut ukuran-ukuran masyarakat industrial itu sendiri.

Masyarakat industri, berbeda dengan masyarakat-masyarakat non-indusrtial, menunda upah dan kesenangan kepada pekerja sampai saat yang telah disetujui bersama, seperti awal bulan sebagai hari-hari menerima gaji, hari Minggu sebagai hari bebas kerja, sistem cuti dan lain-lain.

Norma-norma itu, itu kalaupun ada pada masyarakat non-industrial, adalah jauh lebih berfungsi pada masyarakat industrial. Begitu pula tentang perencanaan. Hal itu tentu lebih merupakan keharusan pada masyarakat industri dari pada lainnya. Maka dengan sendirinya adanya sistem pembukuan, perkantoran dan apa saja yang bersangkutan dengan administrasi dan birokrasi adalah lebih diperlukan pada masyarakat industrial daripada masyarakat pertanian umpamanya. Keharusan seseorang harus tunduk kepada sistem birokrasi dan mekanismenya itu menghilangkan otonominya, dan membuatnya tidak berdaya mengadakan pilihan lain atau, dengan perkataan lain, ia terrpaksa bersikap fatalisitis! Segala sesuatu telah diatur dengan pasti. Kepastian itu terjelma dalam pengawasan segi-segi mendetil, yang melahirkan subnilai bahwa seseorang berharga atau berguna adalah setingkat dengan bidang keahliannya. Maka skill menjadi mutlak penting, dan bukan hanya “kebijaksanaan” atau “kearifan” saja, yang justeru hampir-hampir tanpa faedah bagi masyarakat industrial untuk industrinya. Selanjutnya tentu saja hal itu melahirkan rutinisasi, semuanya berjalan menurut aturan-aturan yang pasti, dapat diketahui permulaannya dan dapat diramalkan ujungnya.

Birokrasi itu mencakup sistem rasionalitas ekonomi, pembagian kerja yang canggih dan perangai-perangai resmi yang saling terjalin secara sempurna. Nilai-nilai itu berfungsi untuk menjaga cara kerja yang konsisten dan rajin serta mewujudkan tujuan-tujuan produksi jangka panjang. Dengan begitu terciptalah apa yang disebut “mesin masyarakat” atau “masyarakat mesin”, yang di dalamnya kerja keras dan produktif menjadi sumber penghargaan atas seseorang.


Tantangan Umat Beragama Pada Abad Modern

Nampaknya modernisasi dalam segala aspek telah berhasil membuat manusia acuh terhadap agama atau bahkan anti agama. Manusia merasa tidak lagi memmbutuhkan agama karena agama telah kehilangan fungsinya ketika ilmu pengetahuan alam dan sosial telah berkembang sedemikan pesat.

Mereka menyatakan: pada masa lalu manusia tidak mampu mengungkapkan fenomena-fenomena alam yang dihadapinya, oleh karena manusia mencari jalan keluarnya dan mengatakan perbuatan Tuhan. Sedangkan pada masa sekarang semua masalah fenomena alam tersebut telah terjawab oleh manusia tidak lagi membutuhkan agama atau Tuhan untuk menyandarkan diri, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Friederich Nietzsche dan Marice Dirac.
Sesungguhnya apabila ilmu pengetahuan kita jadikan sebagai sebuah pemikiran yang berdiri sendiri, terpisah dari agama, maka ia akan menjadi nihil sama sekali bagi manusia dan kemanusiaan!.

Manusia abad ini, kembali seperti Ibrahim saat ia belum menjadi Rasul, bedanya Ibrahim sampai pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui Tuhan kecuali dengan Tuhan.
Mau kemana manusia ini akan pergi? Tidak ada jawaban selain dari memilih jalan Tuhan Yang Mahabenar bagi mereka yang menginginkan petunjuk, “maka kemanakah kamu akan pergi? Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, [yaitu] bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (QS. At-takwir: 26-28).


Pemuda Persis dalam Modernisasi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan salah satu implikasi modernisme mengalir cepat menembus batas-batas rasional masyarakat. Masyarakat sudah tidak diberikan waktu untuk memilih, menerima atau menolaknya. Seolah-olah masyarakat dunia diberikan kesempatan hanya untuk menyaksikan, menjadi penonton, dan terkadang sekaligus menjadi penikmat dan tidak bisa mempunyai waktu untuk menyusun kekuatan pembendung arus yang semakin semakin dahsyat.

Modernisme yang merupakan anak kandung dari worldview Barat mencoba menembus batas kultural yang sama sekali berbeda dengannya. Modernitas adalah kenyataan dan merupakan hal yang mustahil melarikan diri dari modernitas tersebut.

Ada pun Pemuda Persis dalam menyikapi hal tersebut dengan cara proporsional, tidak secara berlebihan, yakni segala sesuatu yang datang dari Barat Pemuda Persis berusaha bersikap kritis dan obyektif. Barat adalah peradaban asing yang berbeda dengan Islam pada banyak hal. Tidak semua yang lahir dari Barat itu baik dan tidak semuanya buruk. Barat perlu dikaji secara cermat dan dan serius sampai ke akar-akarnya.

Berdasarkan pasal 4 QA/QD Pemuda Persis, Pemuda Persis bertujuan agar para anggotanya dan kaum muslimin memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan aqidah, syariah, dan akhlaq Islam berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah dalam segala ruang dan waktu.

Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, kader Pemuda Pesis akan dihadapkan kepada realitas konteks sosio-historis yang sangat heterogen. Tujuan sebagai  sebuah nilai idealitas harus dapat bertransformasi dalam menghadapi realitas. Realitas dapat dimaknai berupa problematika kekinian dan prediksi-prediksi yang mengarah pada kecenderungan di masa depan.

Transformasi yang dilakukan dikonstruksi dari aspek-aspek fundamental kehidupan masyarakat yang dimana Pemuda Persis berada di dalamnya. Hal ini perlu dilakukan, karena Pemuda Persis lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat dan bertanggung jawab terhadap kondisi masyarakat serta diharapkan mampu merekayasa arah dari perkembangan suatu masyarakat. Kondisi itu dapat dilakukan jika Pemuda Persis mampu mambaca kondisi realita (realitas obyektif) dengan baik. Oleh sebab itu, kader Pemuda Persis diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai yang masih dalam tataran idealitas (realitas subyektif), berupa tujuan Pemuda Persis kepada realitas obyektif kondisi bangsa Indonesia pada khususnya, dan umat manusia pada umumnya.


KESIMPULAN

Zaman kita sekarang ini ditandai oleh kecepatan perubahan pola hidup masyarakat. Modal internasional dan teknologi, jaringan lalu lintas dan komunikasi telah menyulap kota-kota besar sedunia menjadi semakin mirip satu sama lain, entah terletak di daerah kebudayaan Arab, Amerika, Asia, Australia, Melayu, bahkan di Indonesia. Melalui radio, televisi, dan media Internet orang di daerah pun berhadapan dengan klise cara hidup “moderen” yang jauh berlainan dari hidup yang mereka jalankan sendiri. Lebih dari itu, pola hidup “moderen” sendiri menyerap sampai ke pelosok-pelosok dengan perantaraan sekolah-sekolah dan melalui perusahaan-perusahaan gaya baru yang memakai standar-standar kerja internasional.

Para penganut paradigma moderenisasi berpihak pada pandangan bahwa perubahan sosial terjadi oleh pengaruh moderenisasi yang berkembang dari Barat. Pemikiran moderenisasi selalu didasarkan pada Revolusi Industeri di Inggris dan Revolusi Politik di Prancis. Akibat revolusi ini telah membawa perubahan-perubahan di dunia baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan.

Fenomena kehidupan manusia pada zaman sekarang kita ini sarat dengan modernitas, kecanggihan dan kemudahan. Semua yang ada serba cepat dan canggih. Interaksi antar manusia semakin mudah. Dimanapun orang berada, komunikasi selalu bisa dilakukan. Tranportasi bukan lagi menjadi masalah, kemanapun kita pergi berbagai macam kendaraan telah tersedia. Gedung-gedung terus dibangun semakin tinggi dan mewah. Semuanya itu mencerminkan bahwa umat manusia sudah menginjak sebuah peradaban yang “modern”.

Perubahan cara hidup itu tak dapat tidak mempunyai pengaruh mendalam atas sikap hidup orang yang mengalaminya. Keadaan kesatuan kebudayaan dan tata cara hidup yang diakui oleh semua kalau bisa di bilang sudah tidak ada lagi. Mobilitas orang kebanyakan pun bertambah sehingga ia banyak bergaul dengan orang yang beradat istiadat dan berpandangan lain. Pola hidup yang tradisional ditantang oleh adanya pola-pola alternatif. Dengan sendirinya sikap-sikap tradisional pun ikut di persoalkan. Bukan satu atau dua sikap yang mulai diragukan, melainkan seluruh kepastian sikap-sikap mulai goncang. Penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk diliputi keragu-raguan. Dalam proses itu penjamin tata cara hidup tradisional masyarakat goyang kedudukannya.

Otoritas adat istiadat dan agama tidak diakui lagi begitu saja. Ikatan-ikatan keluarga mulai mengendor.  Pergaulan muda-mudi menyeleweng jauh dari apa yang dianggap pantas oleh generasi lama. Dengan lain kata, norma-norma kelakuan tradisional telah kehilangan kepastiannya.

Tetapi dengan kepastian hidup sendiri. Terciptalah suatu vakuum yang diliputi kebingungan dan kebimbangan. Orang dalam keadaan itu akan mencari orientasi baru. Itulah kesempatan bagi kita sebagai Pemuda PERSIS dengan modal bassic skill seperti karakteristik Rasululloh, yaitu sidiq, amanah, fathonah, dan tabligh untuk mengemudikan masyarakat kearah Quran-Sunnah dalam aplikatif bukan hanya sekedar konsep, dengan lain kata membumikan Quran-Sunnah untuk melangitkan manusia  dalam segala ruang dan waktu.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Quran al-Karim
  2. Bachtiar, Wardi, Sosiologi Klasik, dari Comte hingga Parsons, Remaja Rosdakarya, Bandung. 2010
  3. Bertens, K, Panorama Filsafat Modern, Teraju. Jakarta Selatan. 2005
  4.  Ebenstein, William, Isme-isme Dewasa Ini, Swada, 1961
  5. Hardiman, Budi, F. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius, Yogyakarta, 2003
  6. Hassan, Fuad, Berkenalan dengan Eksistensialisme. Dunia Pustaka Jaya, 1992
  7. Ismail, Muhammad Al-Husaini, Kebenaran Mutlak, Sahara, 2006
  8. M.Saefuddin,Ahmad, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Mizan, Bandung, 1987
  9. Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, Dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1987
  10. Magnis, Franz von, Etika Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1975
  11. Magnis-Suseno, Franz, Etika Politik, Prinsip-prinsip Kenegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
  12. Magnis-Suseno, Franz, Etanisius Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987
  13. Mahfud,  Choirul, 39 Tokoh Sosiologi Politik Dunia, dari Socrates sampai Barack Obama, Jaring Pena, Surabaya, 2009
  14. Marx, K dan engels, F, Kritik Atas Kritik yang Kritikal, Hasta Mitra, 2005
  15. Pemuda Persis, QA-QD, 2010-2015
  16. Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996

Read more

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting