Sabtu, 22 Oktober 2011

Jenis-Jenis Sejarah Dalam Pandangan Hegel

0




Berangkat dari kesepakatan lalu, tepatnya hari rabu tanggal 28 juli 2010, saya dan saudara Rais sebagai sesama mahasiswa Aqidah Filsafat akan coba saling memaparkan pemahamannya perihal pembagian sejarah menurut Hegel, yang dijadwalkan pada hari sabtu tanggal 31 Juli 2010, pukul tiga sore. Sebut saja ini semacam sharing pemahaman perihal konsep yang sama-sama kami baca.

Dalam tulisan ini, saya bukan hendak memperbincangkan dialektika Hegel atau pun memperbincangkan apa itu diskusi. Yang ingin saya sampaikan adalah jenis-jenis sejarah menurut Hegel. Mengingat Hegel sendiri besar perhatiannya pada kajian sejarah. Ia sendiri menulis buku berjudul Filsafat Sejarah (Rechtsphilosophie), yang di dalam bukunya banyak orang berpendapat bahwa Hegel tidak sedang menulis sejarah melainkan sedang menulis filsafat. Sejarah itu sendiri dalam perspektif Hegel tidak bisa lepas dari apa yang ia namakan Yang Absolut ( atau “Roh”, “Idea”, “Rasio”) sebagai pondasi dasar sistem filsafatnya.


Jenis-jenis Sejarah

Sejauh tangkapan saya yang sederhana dalam buku Filsafat Sejarah karya Hegel ( Terjemahan, Cuk Ananta Wijaya ), sejarah dalam pandangan Hegel dibagi menjadi tiga. Yaitu:
  • Sejarah Asli,
  • Sejarah Reflektif,
  • dan Sejarah Filsafati.

Mengenai jenis yang pertama, penyebutan salah satu atau dua nama yang terkenal akan memberikan warna yang khas. Kategori ini diberikan oleh Herodotus, Thucydides, dan para sejarawan lain yang memiliki orde yang sama, yang pemaparannya sebagian besar terbatas pada perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan dihadapan mereka, dan mereka turut ambil bagian di dalam semangatnya. Mereka secara sederhana memindahkan apa yang berlangsung di dunia sekitar mereka, kawasan intelek representative, Sebuah fenomenon lahir, dengan demikian, diterjemahkan menjadi sebuah konsepsi batin. Dengan cara yang sama, penyair bekerja dengan bahan yang diberikan kepadanya oleh perasaannya; memproyeksikannya menjadi sebuah citra tentang kemampuan konseptif. Adalah benar, para sejarawan asli menemukan pernyataan dan cerita tentang orang lain yang ada di tangan. Orang tidak dapat menjadi saksi nyata atau pun telinga atas segala sesuatu. Namun mereka mendapatkan bantuan seperti itu hanya sebagai penyair karena warisan bahasa yang telah terbentuk, dengan itu ia mendapatkan banyak; semata-mata hanya sebagai bahan. Para sejarawan merangkai unsure-unsur cerita yang cepat berlalu dan menyimpannya untuk diabadikan di dalam kuil Mnemosyne.

¨ Legenda, cerita balada, tradisi harus disingkirkan dari Sejarah Asli ¨ Ini tidak lain merupakan bentuk pemahaman sejarah yang samar dan tidak jelas, karenanya menjadi milik bangsa yang baru bangun kecerdasannya. Sebaliknya, di sini kita harus berhubungan dengan bangsa yang sepenuhnya sadar terhadap apa yang mereka miliki dan apa yang mereka dambakan. Kawasan realitas—yang nyata-nyata terlihat, atau yang dapat dilihat—memberikan dasar yang sangat berbeda dalam hal ketegasan dengan unsur yang lekas hilang dan bersifat khayal, di situ dilahirkan legenda dan mimpi puitis yang kehilangan nilai historisnya, segera sesudah bangsa tersebut mencapai kematangan individualitasnya. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:1-2)

Para Sejarawan Asli tersebut kemudian mengubah peristiwa, perbuatan dan keadaan masyarakat yang mereka kenal menjadi sebuah objek kemampuan konseptif. Oleh karena itu, cerita yang mereka tinggalkan kepada kita tidak dapat terpahami sepenuhnya. Herodotus, Thucydides, Guicciardini dapat dikelompokan sebagai contoh golongan ini. Apa yang hadir dan hidup di lingkungan mereka adalah bahan yang tepat. Berbagai pengaruh yang membentuk penulis identik dengan yang membentuk peristiwa yang merupakan materi ceritanya. Semangat pengarang, dan berbagai perbuatan yang dia ceritakan, adalah satu dan sama. 


Dia memaparkan kancah tempat dia sendiri menjadi salah seorang pelakunya atau, sampai tingkat tertentu, menjadi seorang penonton yang penuh perhatian. Adalah periode waktu yang pendek, berbagai bentuk persona dan kejadian individual, tunggal, sifat yang tidak terlukiskan, dari situlah dia menciptakan gambarnya. Dan tujuannya tidak lain daripada penyajian keturunan (posterity) sebuah cerita peristiwa yang sama jelasnya dengan yang dimilikinya sendiri berdasarkan observasi pribadi, atau deskrifsi yang sehidup mungkin. Permenungan bukan merupakan urusannya, karena dia hidup dalam ruh subjek. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:2-3 )

Dalam Sejarah Asli, unsur yang sifatnya khayali seperti halnya legenda harus disingkirkan. Sejarah jenis ini mendasarkan dirinya pada sepenuhnya fakta yang terjadi di sekitar penulis sejarah. Dan penulis sejarah itu sendiri berada di dalam sejarah yang ia tulis sendiri, baik sebagai pelaku sejarah maupun penonton yang penuh perhatian. Itulah sejarah yang hidup dalam ruh subjek jauh dari ketinggian ruh absolut.

Sejarah jenis kedua, disebut sebagai Sejarah Reflektif. Sejarah ini pun terbagi lagi menjadi empat jenis. Namun, berbeda dengan jenis Sejarah Asli, Sejarah Reflektif oleh Hegel diberi pengertian sebagai sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya ia berhubungan, melainkan yang ruhnya melampaui masa kini. Jika dalam Sejarah Asli seorang penulis sejarah berada di dalam sejarah yang ia tulis, sama-sama berada dalam ruh zaman yang ditulisnya, maka Sejarah Reflektif tidak seperti itu. Seorang penulis sejarah jenis kedua ini tidak terbatasi oleh waktu, tempat dan kebudayaan, ia bisa saja menyajikan sejarah suatu zaman berbeda dengan Ruh dirinya sebagai penulis.

Ada Sejarah Reflektif yang sifatnya pragmatis. Sejarah jenis ini ditulis untuk diambil manfaatnya. Seperti model sejarah yang ditulis oleh Johannes v. Muller yaitu Sejarah Swiss yang Nampak memiliki tujuan moral. Dia menulis sejarah itu, bermaksud menyiapkan satu badan ajaran politik untuk diajarkan pada pangeran, pemerintah dan rakyat.

Kemudian, Sejarah Reflektif yang ditulis hanya untuk sekedar mendapat pandangan tentang suatu bangsa dan Negara, atau tentang dunia. Sejarah jenis ini ditulis mirip dengan Sejarah Asli, manakala ia ditulis tidak memiliki tujuan yang lebih jauh daripada untuk menyajikan sejarah sebuah negeri yang lebih utuh. Penulis sejarah jenis ini menulis sejarah sedemikian jelasnya sehingga pembaca seolah dapat mengkhayalkan dirinya menjadi saksi mata atas peristiwa yang dicerita dalam sejarah. Meskipun efeknya pada pembaca bisa sedemikian nyata, perlu dicatat sejarah jenis ini tidak seperti Sejarah Asli, yang penulisnya berada dalam satu orde dan ruh sejarah yang ditulisnya. Penulis Sejarah Reflektif ini tidak terikat ruang dan waktu saat sejarah itu terjadi, ia bahkan berbeda kebudayaan dan zamannya.

Bentuk Sejarah Reflektif yang ketiga adalah yang bersifat Kritis. Bentuk ini pantas disebut sebagai cara menceritakan sejarah yang unggul. Bukan sejarah itu sendiri yang dihadirkan di sini. Kita mungkin lebih tepat menunjukannya sebagai sebuah sejarah tentang sejarah; sebuah kritik terhadap penceritaan sejarah dan sebuah pengkajian atas kebenaran dan kredibilitasnya. Kekhususannya dalam kenyataan dan tujuan, terkandung di dalam ketajaman penulis memeras segala sesuatu dari catatan yang tidak terdapat dalam materi yang tercatat(J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:10) . Model penulisan sejarah ini lebih bersifat menggugat dan menentang fakta sejarah yang telah ditetapkan dengan baik.

Lalu yang terakhir Sejarah Reflektif yang sifatnya tematik, seperti halnya Sejarah Seni, Hukum atau Agama. Sejarah jenis ini menunjukan ketidaklengkapannya karena ia hany disajikan berdasar tema-tema tertentu.

Yang berikutnya yaitu sejarah jenis ketiga, adalah Sejarah Filsafati seyogyanya sejarah jenis ini mendapatkan ruang yang luas untuk dituliskan di sini. Mengingat di sinilah point-point pemikiran Filsafat Sejarah Hegel tertuang dan jenis Sejarah Filsafatilah yang Hegel di dalamnya bergelut. Namun, karena keterbatasan saya dalam memahami pemikiran Hegel ini, maka saya hanya akan menuliskan sangat sedikit kefahaman perihal pemikiran Hegel yang satu ini. Dimulai dari definisi umum yang Hegel paparkan perihal Filsafat Sejarah atau Sejarah Filsafati. Yaitu, bahwa Filsafat Sejarah tidak menggunakan sarana apa pun kecuali pertimbangan pemikirannya terhadapnya. Bagi Hegel, pemikiran adalah unsur yang tetap dan hakiki bagi kemanusiaan.

Kemudian Hegel menggunakan kata Rasio. Rasio adalah penguasa dunia, dengan demikian, sejarah dunia memberikan proses yang rasional pada kita. Proses yang rasional bagi saya adalah proses yang bisa terpahami dan pada dirinya adalah proses yang sadar diri. Lalu apakah yang sadar diri itu? Materikah? Atau Ruh kah? Materi dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang saling menyisihkan oleh karenanya Materi bersifat menghancurkan dirinya. Jika Materi sampai pada titik yang tak dapat dibagi lagi, ia tidak lagi menjadi Materi, ia telah lenyap bersatu pada sesuatu yang lain yang menjadi pusatnya. Sedangkan Ruh berbeda dengan Materi yang berpusat pada sesuatu di luar dirinya (Materi memiliki gaya berat), Ruh tidak seperti itu, ia adalah sesuatu yang berpusat pada dirinya sendiri. Ruh adalah eksistensi yang mengandung dirinya sendiri. Ia bebas, tidak tergantung pada sesuatu di luar dirinya melainkan bergantung pada dirinya sendiri. Itulah yang disebut kesadaran diri menurut Hegel. Kesadaran diri berarti kebebasan.

Dan sejarah bagi Hegel adalah gerak kebebasan. Sejarah dimulai dari kekurangbebasan, Ruh Dunia yang kurang sadar diri. Sejarah berjalan linier. Dimulai dari Orang Timur. Orang Timur telah tahu bahwa ¨ manusia itu bebas ¨ namun kebebasannya hanyalah aksidensi dari Alam. Alam pikiran manusia masih dikuasai oleh bayang-bayang kekuasaan Alam yang serba misterius. Kemudian, kesadaran akan kebebasan lahir di Yunani dan Romawi. Itu pun hanya sebagian manusia, tidak manusia secara utuh. Sebagian manusia masih berada di dalam bayang-bayang perbudakan. Kebebasan tumbuh dan berlaku bagi sebagian manusia, sifatnya terbatas dan sementara saja. Maka bangsa Jerman, di bawah pengaruh agama kristenlah yang benar-benar mencapai taraf kesadaran dirinya yang utuh. Bahwa manusia sebagai manusia adalah bebas. Bangsa Jerman, bagi Hegel adalah model Ruh Dunia (yang sadar diri) mencapai kematangan sejarah yaitu kebebasan. Dan agama Kristen adalah inspirasinya.

Kira-kira begitulah hasil bacaan dan pemahaman saya perihal Sejarah Filsafati (atau Filsafat Sejarah) yang lebih berfokus pada “Yang Ada” yang eksis jadi penggerak dunia. Yaitu, Ruh Dunia (atau “Rasio”) yang bergerak menuju kebebasan, keabadian, kesatuan atau absolutisme.

Read more

Selasa, 11 Oktober 2011

Ateisme Sartre

0


oleh   : Yoga ZaraAndritra

jean paul satre


Tidak seperti materialisme yang kita kenal yang telah menihilkan adanya Tuhan karena alasan Tuhan itu hanya khayalan dan tidak dapat dibuktikan secara material. Bagi seorang materialis yang ada itu ialah yang materil, wajar saja ketika konsep Tuhan mereka tolak karena bagi mereka Tuhan itu tidak materil Tuhan itu hanya khayalan. Mereka yang menganut faham ini kebanyakan dari kalangan komunis terutama komunis yang ditafsir oleh Lenin. Lenin telah menafsir Marxisme dengan caranya yang paling radikal. Tulisan Marx yang menyatakan bahwa agama ialah candu telah Lenin tafsir sebagi ketiadaan Tuhan. Disamping itu Marx yang adalah juga pengagum Hegel.ingin menarik konsep dilektika Hegel ke tataran material. Marx menafsir capital,uang,alat produksi itulah yang telah menjadi kenyataan sejarah sejak dulu dan menentukan proses jalannya sejarah.
Eksistensialisme Sartre telah menihilkan Tuhan bukan dari sisi material. Dalam konteks “adanya” manusia justru eksistensialisme menolak Materialisme karena secara hakikat kaum materialisme telah menyamakan manusia dengan benda. Menurut faham eksistensialisme Sartre, manusia dengan benda jelas berbeda. Jika benda tidak mempunyai kesadaran otomatis ia tidak berada seperti manusia berada. Adanya benda ialah ada begitu saja. K. Bertens dalam bukunya Filsafat Kontemporer Prancis menjelaskan bahwa ada begitu saja ini ialah ciri dari etre en soi. Etre en soi ini sama sekali identik dengan dirinya.  Etre en soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif tidak negative: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia. Etre en soi tidak mempunyai masa silam, masa lalu, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan atau tujuan. Etre en soi itu sama sekali kontingen.: artinya ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatau yang lain. Benda yang saya maksud disini ialah segala sesuatu selain manusia. Jika argument Sartre terhadap alam semesta ini ialah ada begitu saja maka Tuhan menjadi tidak relevan untuk ada. Tetapi dalam eksistensialismenya, Sartre berbicara ontology lebih pada manusianya.
Sedangkan, untuk manusia bagi Sartre berada dengan bereksistensi. Bagi Sartre manusia memiliki kesadaran intensional yaitu dia(manusia) menjadi sadar bahwa dirinya ada dengan cara menyadari adanya sesuatu diluar dirinya. Misalnya tatkala saya melihat makanan atau kulkas saya menjadi sadar bahwa saya bukanlah kulkas atau makanan itu, saya adalah saya. Disitu saya sadar diri. Bereksistensi ialah proses menyadari. Penulis gunakan kata proses karena bereksistensi adalah juga “menjadi”. Menjadi disini mengandung arti adanya manusia bukan adanya yang telah jadi, bukan adanya yang beresensi terlebih dahulu lalu bereksistensi. Ujaran Sartre yang terkenal mengenai manusia ialah bahwa manusia itu bereksistensi terlebih dahulu lalu beresensi. Ajaran inilah yang menjadi salah satu dalih meniadakan Tuhan karena jika Tuhan ada otomatis manusia telah ada terlebih dahulu konsep, ide(esensi) mengenai akan diciptakannya manusia lalu manusia diciptakan sehingga menjadi ada (eksist). Oleh karenanya bila ingin meniadakan Tuhan Eksistensi haruslah mendahului esensi. Untuk pembahasan mengenai mengapa harus Tuhan ditiadakan?akan penulis sajikan disub judul selanjutnya.

Kebebasan Adalah Tuhan Sartre
Tuhan yang penulis maksud disini ialah bukan Tuhan yang personal. Tuhan disini ialah Tuhan yang sudah senantiasa bersemayam dan bergumul dengan diri manusia dan dalam diri manusia. Tuhan yang bukan berada jauh disana tidak tersentuh dan bersembunyi, bukan yang metafisik. Melainkan Tuhan yang dengan itu Sartre menyandarkan semua argument Filosofisnya, itulah dia Sartre namakan Kebebasan. Dan, manusia itu sendiri Sartre katakan kebebasan.Dari semua ajaran filsafat Sartre yang penulis fahami dan telah penulis baca dari buku-buku yang mengulas tentang Sartre,  semuanya bermuara pada term ini yaitu kebebasan. Bahkan, sepertinya argument etre en soinya Sartre yang dengan ini beliau meniadakan adanya Tuhan, pun adalah sebuah dalih kebebasan manusia. Karena bila Tuhan yang metaisik ini ada maka manusia menjadi tidak bebas. 

Read more

Senin, 10 Oktober 2011

Selayang Pandang Eksistensialisme Menurut Sartre

0




jean paul satre

Dalam artikel ini penulis akan mengangkat tema eksistensialisme, khususnya eksistensialisme Sartre. Tema inilah yang dapat penulis sajikan. Ini tidak terlepas dari kurangnya referensi mengenai tema yang sesungguhnya penulis ingin angkat yaitu kritisismenya Imanuel Kant. Karena hal itulah penulis urungkan niat untuk memenuhi tugas kuliah Filsafat aliran dengan tema kritisisme Kant. Tapi bukan berarti diangkatnya tema eksistensialisme Sartre mencirikan bahwa penulis sudah sangat lengkap referensi tentang eksistensialisme tapi pas-pasan. Pas-pasan karena penulis merasa bahwa bahan-bahan yang ada sudah dipandang cukup untuk memenuhi kriteria penyusunan artikel filsafat, yaitu terangkumnya analisis mengenai ontology, epistemology, dan aksiologi dari pemikiran tokoh aliran filsafat tertentu.
Meskipun begitu penulis akan berusaha sajikan secara maksimal tema yang akan sedikit diulas ini. Eksistensialisme juga sepanjang yang penulis amati ternyata amat mengena terhadap jiwa beberapa mahasiswa UIN. Mereka ini teman saya juga. Berdasarkan yang penulis amati mereka rata-rata sangat faseh dan hapal istilah-istilah yang digunakan kaum eksistensialis bahkan mereka mentasbihkan diri sebagai pengikut aliran eksistensialis. Kata-kata yang sangat lumrah terucap dari mulut mereka ialah,”bebas we jeung say amah”/ “abdi mah jalmi bebas”. Itulah kata-kata yang biasa mereka ucapkan dalam berkomunikasi. Fenomena seperti ini kiranya kita bisa gali dari ajaran yang mereka yakini. Seperti apakah eksistensialisme itu?menjadi tanda tanya besar bagi penulis saat mulai dikenalkan dengan wacana-wacana asing seperti itu. Penulis sempat bertanya beberapa isi dari pemikiran salah satu tokoh eksistensialisme pada seorang teman satu jurusan yang dipandang kompeten, membaca buku-buku yang mengulas tentang eksistensialisme dan lain sebagainya. Sehingga akhirnya kini penulis memiliki sedikit kepahaman tentang tema yang digandrungi oleh beberapa teman penulis. Dan kiranya penulis akan sajikan dalam artikel ini.



Riwayat Hidup Sartre

JEAN-PAULSARTE lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. ayahnya adalah perwira angkatan laut Prancis dan Ibunya Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan anak satu-satunya Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Zerman didaerah Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun setelah kelahiran Sartre dan Ibu bersama anaknya pulang kerumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun mereka pindah ke Paris.
            Charles Schweitzer, memegang peranan besar sekali dalam membesarkan Sartre dan mengembangkan bakatnya sebagai pengarang. Kakek itu sebenarnya beragama Kristen Protestan, tetapi ia menyetujui bahwa anak-anaknya dididik dalam agama istrinya, Louise Guillemin, yaitu agama Kristen Katolik Sartre juga dibaptis dan dibesarkan secara Katolik.
            Sampai umur sepuluh tahun empat bulan anak yang sangat pandai itu diberi pengajaran di rumah. Selama itu ia hidup ditengah-tengah orang dewasa, tanpa adik, tanpa teman sebaya. Dunianya adalah perpustakaan kakeknya. Dapat dimengerti bahwa dengan masuk sekolah suatu dunia sama sekali baru terbuka bagi dia. Ia diterima di lycee Henri IV  di Paris, tetapi tahun berikut ibunya menikah lagi dan mereka pindah lagi ke La Rochelle. Sesudah beberapa tahun ia disekolahkan lagi di Paris, yaitu Lycee Louis-le-Grand. Pada tahun 1924 ia sempat masuk di Ecole Normale Superieure, perguruan tinggi ini yang paling selektif dan paling terkemuka di Prancis. Untuk ujian Agregation ia satu kali jatuh tetapi tahun berikutnya, tahun 1929, ia berhasil meraih Agregation de philosophie sebagai nomer satu.
            Sekitar tahun 1929 Sartre berkenalan dengan Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat di Universitas Sorbonne. Pertemuan itu menjadi titik tolak persahabatan akrab sepanjang hidup mereka. Tetapi mereka menolak untuk menikah, sebab perkawinan oleh mereka, kata Simone de Beauvoir, dianggap sebagai suatu lembaga borjuis saja.
            Sebagai mahasiswa dan guru muda Sartre termasuk golongan  intelektual      berhaluan kiri. Objek kritiknya terutama kaum borjuis dengan norma-norma dan tradisinya. Dibidang filsafat, Sartre dan kawan-kawannya menyerang idealisme dan setiap pemujaan terhadap “hidup batin”. Mereka mengkritik professor-profesor mereka di Universitas yang berpretensi dapat mencapai perubahan-perubahan kemasyarakatan hanya dengan ide-ide atau koreksi terhadap ide-ide. Kritik ini tentu dipengaruhi pengalaman sekitar Perang Dunia I dan Revolusi di Rusia. Di kemudian hari ia akan mengatakan bahwa pada waktu itu ia belum menyadari bahwa filsafat yang dicarinnya sebenarnya sudah ada, yaitu Marxisme. Ia memang membaca beberapa karya Karl Marx, tetapi diakuinya kemudian belum masuk sungguh-sungguh kedalam alam pikiran ini.
             Sejak tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru filsafat di Lycee, berturut-turut di Le Havre, Laon dan Paris. Pada waktu itu ia mulai berkenalan dengan fenomenologi Husrel dan tahun 1933-1934 ia mendapat kesempatan untuk mempelajari lebih mendalam aliran filsafat ini pada “Lembaga Prancis” di Berlin.
             Dalam periode yang sama Sartre memulai kariernya sebagai Sastrawan. Salah satu karya sastra yang penting ialah novelnya yang pertama berjudul La Nausee (1938). Disini dengan lebih jelas kita menemui sejumlah tema yang akan kembali dalam filsafanya nanti. Ia juga mulai terjun dalam kritik kesenian. Pelbagai majalah memuat karangan-karangannya tentang kesustraan maupun seni rupa.
            Setelah studinya selesai Sastre sudah memenuhi wajib militer (1929-1931). Ketika Perang Dunia II pecah, ia dipanggil lagi masuk ketentaraan. Karena tugasnya pada dinas meteorology, ia mempunyai waktu luang untuk membaca dan menulis. Dari Juni 1940-April 1941 ia ditahan di Zerman sebagi tahanan perang. Dalam tahanan ia menulis dan menyutradarai sebuah drama yang mengisahkan peristiwa natal, tetapi sebenarnya mengecam pendudukan Palestina oleh tentara Roma. Bagi penonton budiman cukup jelas bahwa apa yang dimaksudnya sesungguhnya pendudukan Prancis oleh tentara Zerman. Pengalaman ini membuka mata Sartre bagi drama sebagai media ekspresi.
            Pada tahun 1964 Sastre dipilih sebagai pemenang hadiah nobel bagian kesusastraan. tetapi ia menolak, dengan itu ia menolak keuntungan financial yang tidak sedikit. Menrima hadiah itu demikian pendapatnya akan mengurangi kebebasannya, karena dengan itu ia dimasukan kedalam golongan tertentu, yaitu golongan borjuis atau kapitalis. Kegiatannya sebagai pengarang akan dibekukan. Karena alasan yang sama katanya ia akan menolak juga hadiah Lenin, seandainya diberikan oleh Uni Soviet. Selaku pengarang ia ingin tetap mempertahankan posisinya yang independen ditengah blok-blok social politik yang ada pada waktu itu.
            Pada tahun 1966 ia mengambil bagian dalam International Tribunal against war crimes in Vietnam yang telah didirikan oleh filsuf inggris tersohor yaitu Bertrand Russell. Maksud lembaga pengadilan itu adalah menyelidiki kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan Amerika di Vietnam dengan menggunakan norma-norma yang sama yang telah diciptakan oleh Negara-negara demokratis untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan perang Nazi Zerman dalam pengadilan Nuremberg pada tahun 1946.
            Ketika revolusi mahasiswa pecah di Paris pada bulan Mei 1968, Sartre mengikuti peristiwa-peristiwa besar yang berlangsung penuh perhatian besar dan turut mengecam tindakan-tindakan polisi Prancis yang dinilai terlalu kejam.
            Beberapa tahun kemudian(1973) ia mengambil inisiatif untuk menerbitkan surat kabar baru. Bersama dengan suatu staf yang yang terdiri dari orang-orang berhaluan kiri, ia mulai menerbitan harian (non-kapitalistis, katanya) yang akan memperjuangkan kepentingan kaum buruh. Nama yang dipilih ialah liberation(pembebasan). Surat kabar ini tidak memuat iklan, yang dianggapnya sebagai kebiasaan kapitalistis. Dan semua karyawan mendapat gaji yang sama: dari montir mesin sampai dengan dewan redaksi. Tetapi karena kesulitan-kesulitan financial harian ini sering merana dan beberapa kali harus berhenti sementara.
            Ketika ia mencapai usia 70 tahun (1975), kejadian itu diperingati oleh banyak majalah dan media lainnya. Suatu wawancara panjang dengan Sartre disajikan oleh majalah le nouvel observateur. Ia mengakui bahwa sejak dua tahun ia mengidap pelbagai penyakit. Kakinya merasa sakit jika berjalan lebih dari 1 kilometer, dan yang paling berat, matanya semakin kabur hingga hampir buta.membaca dan menulis tidak mungkin lagi: “kegiatan saya sebagai pengarang sudah musnah sama sekali”. Perayaan hari ulang tahun ke-70 itu menjadi semacam pamitan umum. Ia meninggal lima tahun kemudian tanggal 15 April 1980, sesudah sebulan dirawat di Rumah Sakit.  

Read more

Minggu, 18 September 2011

Peta Pemikiran Para Filusuf

0




"Jalannya saling pengaruh mempengaruhi para filsuf sepanjang zaman"




Sumber : "TOKOH-TOKOH DUNIA DALAM LAPANGAN BERPIKIR". Ds. F.K.N. Harahap



Read more

Sabtu, 02 Juli 2011

moral

0

       Ketika kita mendengar atau melihat dari media televisi, atau membaca dari koran yang memberitakan suatu kejahatan dengan spontan kita berucap "sungguh orang ini bukan manusia!, sungguh keji tak bermoral! Lantas ketika ditanya mengapa kita berkata seperti itu? Apa sih yang di sebut moral itu? Apakah dasar yang melandasi moral itu? Adakah sesuatu yang mengharuskan kita berbuat ini dan itu? Mengapa kita tidak harus berbuat sebaliknya? Apa jadinya kalau kita berbuat yang sebaliknya? Dengan dihujani pertanyaan-pertanyaan seperti itu kita sangat kelabakan untuk menjawabnya, walaupun kita sudah tidak asing lagi mendengar kata "moral" karena seringnya itu kita hampir lupa dengan makna yang terkandung dari kata moral itu sendiri, sehingga kita tidak mau mempertanyakan hal itu dan seolah-olah moral itu menjadi tabu untuk dipertanyakan lagi. Dengan itu disini saya akan sedikit memaparkan tentang "moral" atau "etika".

        Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.

        Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Kristen, etika Islam, etika Kantian, etika Aristotelian, dll. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.

        Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Pada kenyataan moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).

        Sebagaimana diketahui sejak lama, yang menjadi kajian dalam pembahasan moral adalah "seharusnya" atau "sebaiknya" kita atau orang lain bertindak, misalnya ketika anda mengatakan seseorang harus atau sebaiknya melakukan sesuatu, sering kali itu bukanlah akhir dari masalah tetapi permulaan nya. Masalahnya adalah status "sebaiknya" tidak jelas. Apakah itu perintah absolute atau itu dalam beberapa hal bersyarat?
Untuk mendapatkan gambaran saya akan mengambil beberapa pertanyaan dari beberapa filsuf moral. Filsuf pertama yang kita pilih adalah David Hume (1711 – 1776), David Hume dikenal sebagai salah seorang kritikus moral yang luar biasa tajam. Hume mempersoalkan pembedaan dan hubungan logis antara kenyataan faktual (factual fact) dan kenyataan moral (moral fact). Pengamatan Hume ini menjadi diskusi moral yang tak habis-habisnya. Persoalan dasar yang diajukan Hume berbunyi: Mengapa dari kenyataan faktual dapat ditarik suatu kenyataan moral? Persoalan ini dapat dirumuskan kedalam bahasa logika: Mengapa dari pernyataan factual dapat ditarik pernyataan atau kesimpulan normatif? Pernyataan factual adalah pernyataan yang menunjukan adanya sesuatu. Sedangkan pernyataan normative adalah pernyataan yang mengandung suatu perintah atau keharusan. Pernyataan factual ditandai dengan predikat to be, sedangkan pernyataan normatif dengan ought to. Maka persoalan Hume dapat dirumuskan menjadi: Mengapa dari to be dapat ditarik suatu ought to? Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
A: "Kau harus (ought to) membantu "
B: "Mengapa?"
A: "Karena dia adalah (to be) bapakmu, dan dia membutuhkan bantuanmu"

        Dilihat dari kritik Hume, kita dapat bertanya: Apakah hubungan antara "Dia bapakmu" dan "Kau harus membantu"; atau mengapa dari pernyataan factual "Dia adalah bapakmu" ditarik pernyataan normative "Kau harus membantu"? Hume menunjukan adanya jurang penalaran yang tak terjembatani dan tak terpahami dari to be ke ought to.

        Menurut Nietzsche, Hume masih terjebak dalam pengakuan akan adanya fakta. Fakta itu tidak ada! Kalau demikian, kita tidak perlu mengadakan pembedaan antara kenyataan factual dan kenyataan moral. Yang ada hanyalah interpretasi. Dan yang kita akui sebagai gejala moral adalah interpretasi moral. Karena itu, Nietzsche berpendapat, interpretasi semacam ini timbul karena dorongan manusia untuk berkuasa, dan bukan karena adanya fakta atau gejala moral. Dengan demikian, bagi Nietzsche, tidak ada lagi persoalan logika antara to be dan ought to.

        Orang kedua yang kita pilih adalah Immanuel Kant. Serbagaimana kita ketahui, Kant bermaksud membuktikan bahwa keputusan moral itu dapat dibuktikan dan ditunjukan secara ilmiah. Pemikirannya ini sejalan dengan pemikirannya tentang pengetahuan pada umumnya. Dari segi ini, pandangan Kant tentang moralitas dapat dikategorikan sebagai pandangan epistemologi tentang moralitas. Dengan gagasannya tentang kategori imperatif, Kant bermaksud membuktikan adanya kewajiban moral yang bersifat mutlak tanpa syarat dan bersifat universal. Kant menunjukkan landasan rasional bagi kewajiban orang untuk bertindak atas dasar tuntutan moral yang berlaku dalam situasi apa saja dan dimana saja. Dengan itu sebenarnya Kant hendak menjawab pertanyaan: Apa landasan bagi tuntutan bahwa orang harus bertindak baik, jujur, dan adil? Kant percaya adanya dasar mutlak dan tanpa syarat yang mengharuskan orang untuk bertindak dengan cara itu, dan kalau orang lain bertindak dengan cara itu pula maka setiap orang akan diuntungkan. Inilah argumentasi yang disumbangkan oleh Kant untuk memenuhi suatu perintah atau tuntutan moral tanpa syarat.
Orang ketiga yang kita pilih adalah Hegel. Dengan filsafat sejarahnya, Hegel membuktikan bahwa sejarah didominasi oleh moralitas. Hegel percaya bahwa di belakang realitas alam ini ada Roh Alam. Dan sejarah adalah proses yang membuat Roh Alam bergerak maju dari ketidaksadaran dan ketidakbebasan kea rah kesadaran diri dan kebebasan absolut. Dalam proses, Roh-Alam terus memanifestasikan dirinya ke dalam alam sekaligus memahami dirinya.

        Orang berikutnya adalah Nietzsche. Seperti telah ditunjukan di atas, dalam kritiknya terhadap Hume, Nietzsche tidak mengakui adanya fakta moral. Nietzsche menunjukan bahwa sebenarnya yang disebut moralitas pada dirinya itu tidak ada; yang ada hanyalah interpretasi moral. Adapun interpretasi itu sendiri berasal dari luar-moral (extra moral). Menurut Nietzsche moralitas adalah system penilaian (system of evaluations), sedangkan penilaian itu sendiri menurut Nietzsche, selalu berbuat exegesis, yaitu "a way of interprenting". Jadi, moralitas bagi Nietzsche selalu penafsiran untuk suatu penilaian.

Macam-macam etika   :

a. Etika deskriptif
        Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.

b. Etika normatif
        Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.

c. Metaetika
        Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.

        Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (to be), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought to).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.

oleh         : E.  Ruswandi

Daftar Pustaka


Baggini. Julian . Lima Tema Utama Filsafat. Terju. PT. Mizan Publika. 2004
Bertens. K. Etika. Jakarta: Gramedia. 2000
St. Sunardi. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS. 1996

Read more

Jumat, 01 Juli 2011

sesat fikir formal

0




Sesat pikir formal terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi bentuk (form) penalaran yang sahih.
Jenis-jenis sesat pikir formal adalah sebagai berikut:

  1. Sesat Pikir Empat Term (Fallacy Of Four Terms)
Bentuk silogisme yang sahih ialah silogisme yang hanya memiliki tiga term (: term mayor, term minor, dan term tengah) yang masing-masing disebut dua kali. Apabila dalam sebuah silogisme terdapat empat term, bentuk silogisme itu tidak sahih. Hal itu melanggar ketentuan mengenai term-term silogisme.

  1. Sesat Pikir Proses Tak Sah (Fallacy Of Illicit Process)

Sesat pikir yang terjadi karena term premis tidak berdistribusi tetapi term konklusi berdistribusi. Silogisme adalah inferensi deduktif; oleh karena itu, tidak mungkin konklusi lebih umum dari pada premis-premisnya.

Apabila dalam premis sebuah term tidak mengacu kepada keseluruhan ekstensinya, dalam konklusi term itu pun tidak boleh mengacu kepada keseluruhan ekstensi term tersebut. Jadi, apabila dalam premis term S atau term P tidak berdistribusi, dalam konklusi pun term S atau term P tidak berdistribusi.
Contoh:
~ Semua merpati adalah hewan bersayap.
~ Semua ayam bukan merpati.
~ Semua ayam bukan hewan bersayap.
Atau :
~ Semua filsuf adalah cendikiawan.
~ Semua filsuf adalah manusia.
~ Semua manusia adalah cendekiawan.

Hal ini melanggar ketentuan mengenai term-term silogisme.
  1. Sesat Pikir Term Tengah Tak Berdistribusi (Fallacy Of Undistributed Middle)

Sesat pikir yang terjadi karena term tengah tidak berdistribusi, padahal untuk memperoleh konklusi yang benar term tengah sekurang-kurangnya satu kali berdistribusi. Term tengah berfungsi sebagai penengah antara term S dan term P. apabila term tengah tidak berdistribusi dalam salah satu premis, tidak mungkin konklusi dapat diambil. Contoh :
~ Sebagian manusia adalah kaya.
~ Sebagian manusia adalah cerdik.
Jelas terlihat bahwa term tengah manusia sebagai term M (term tengah) tidak satu pun yang berdistribusi dalam kedua premis tersebut di atas sehingga tidak mungkin konklusi dapat di ambil. Hal ini melanggar ketentuan mengenai term-term silogisme.

  1. Sesat Pikir Dua Premis Negative (Fallacy Of Two Negative Premises)

Sesat pikir ini terjadi karena menarik konklusi dari dua buah premis negatif, padahal dari dua premis negatif tidak dapat ditarik dua konklusi yang benar. Hal itu melanggar ketentuan-ketentuan mengenai premis-premis.
oleh     : Endang Ruswandi

Read more

sesat fikir bahasa

0


        Sesat pikir (fallacia, Latin atau fallacy, Inggris) ialah kekeliruan penalaran yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau susunan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja atau tidak telah menyebabkan pertautan atau asosiasi gagasan yang tidak tepat. Biasanya, sesat pikir tidak dapat segera diketahui atau disadari orang, baik orang yang berpikir sendiri, maupun orang yang mengikuti buah pikiran itu. Karena, sepintas lalu, tampak seolah-olah benar tetapi sesungguhnya keliru.
Jika pelaku sesat pikir itu tidak menyadari akan sesat pikir yang dilakukannya, hal itu disebut paralogisme. Namun apabila sesat pikir itu dilakukan dengan sengaja untuk menyesatkan orang lain disebut sofisme
Sesat pikir atau kesalahan berpikir dalam logika dapat dirumuskan dan diberi nama. Dalam bukunya Pengantar Logika Jan Hendrik Rapar membagi sesat pikir atau kesalahan berpikir kedalam tiga jenis, yaitu
  1. sesat pikir karena bahasa,
  2. sesat pikir formal,
  3. dan sesat pikir material.

  1. Sesat Pikir karena Bahasa
Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan sebagai berikut:
  1. Menggunakan term ekuivokal
Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak dapat berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat juga berarti pohon yang sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term ekuivokal disebut sesat pikir ekuivokasi (fallacy of equivocation).
  1. Menggunakan term metaforis
Term metaforis adalah kata atau sekelompok kata yang digunakan bukan dalam arti sebenarnya. Misalnya: kambing hitam (kambing berwarna hitam atau orang yang dipersalahkan tetapi sebenarnya tidak bersalah). Contoh lain: Pemuda adalah tulang punggung negara. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term metaforis disebut sesat pikir metaforisasi (fallacy of metaphorization).
  1. Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata
Ada kata-kata yang, apabila aksennya diubah, akan memiliki arti yang berbeda. Misalnya: apel: jika tekanan terletak pada huruf "a", artinya ialah pohon/buah apel, tetapi jika tekanan terletak pada suku kata "pel", artinya ialah apel bendera, dan sebagainya. Sesat pikir yang terjadi karena aksen disebut sesat pikir aksen (fallacy of accent).
  1. Menggunakan konstruksi kalimat bermakna ganda
Kalimat yang bermakna ganda disebut amfiboli (amphiboly). Amfiboli terjadi apabila sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat itu dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Contoh: Azmil mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya! Kalimat itu bisa berarti: Azmil mencintai kekasihnya, dan saya juga mencintai kekasih si Azmil. Atau bisa juga berarti: Azmil mencintai kekasihnya, dan saya mencintai kekasih saya.


oleh :         Endang Ruswandi

Read more

Kamis, 16 Juni 2011

value menurut karlmarx

0


proses sosialisasi sudah menjadi dasar kehidupan semua manusia di muka bumi ini. dipungkiri atau tidak di setiap harinya manusia perlu akan berinteraksi dengan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung, seprti internet misalnya.

hal ini menjadi berkembang seiring dengan adanya kebutuhan yang sedikitnya didasari oleh keinginan yang sangat beragam dari masing-masing individu. mengapa kebutuhan bisa berkembang berdasarkan keinginan? bayangkan saja jika di sebuah kota ada 200 orang yang berkeinginan untuk memakan ayam goreng maka kebutuhan akan subsidi ayam goreng pun menjadi meningkat. dan begitu seterusnya

karena didasari oleh keinginan yang begitu beragam dan banyak. maka kebutuhan pun akan membengkak yang beakibat produksi alamiah yang akan tercekik dan terpaksa diadakan nya produksi masal atau industri untuk menangani kebutuhan yang beragam dan banyak tersebut.

konsekuensi dari terjadi nya sebuah proses pertukaran kebutuhan yang banyak atau masal akan melahirkan suatu kerja sama pertukaran yang bisa melibatkan berbagai banyak macam kebutuhan kebutuhan yang baru dan berbeda-beda. entah itu bisa berbeda dari segi bidang ataupun fungsi. yang jelas semakin banyak nya proses pertukaran kebutuhan akan mengakibatkan pembengkakan kebutuhan baru yang disebabkan oleh keinginan baru yang muncul dari ragamnya variasi keinginan manusia per individu.

beberapa paragrap diatas jika di sarikan akan membuahkan suatu istilah yaitu ekonomi. pasalnya ekonomi terlahgir dari sebuah keinginan yang berdeda dan banyak. maka untuk memenuhi hal terbesut, diadakan nya lah proses pertukaran yang bersumber  dari kebutuhan. bahkan jika di urutkan lebih jauh akan menghasilkan perkelompokan kerja yang berguna untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan secara utuh.

jika membahas tentang ekonomi, maka nilai tidak akan bisa lepas dari pembahsan ini. mengingat ekonomi selalu menjado kolabolator dengan kata nilai. dan memang secara umum kata nilai tercipta berdasarkan keinginan yang menjadi kebutuhan massal.  dikala produsen alamiah tidak bisa menanggung hal ini secara penuh, maka industri di ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sangat beragam dan banya.

lantas apa yang menjadi masalah dengan nilai dan ekonomi? secara garis besar walau pun sifat dari ekonomi itu adalah bebas nilai, dalam artinya mempun yai dua sisi yang bisa di gunakan secara bebas (sisi positif dan sisi negatif).  tetapi bagaimana bila seseorang mempunyai sesuatu yang sudah melekat dengan dirinya seperti perasaan, cinta,ilmu penetahuan, hati nurani dan keyakinan sudah di alih pungsi kan untuk dijadikan nilai dalam sebuah perdagangan?

hal-hal diatas sudah sangat sering di komunikasikan, ditukarkan bahkan ada pula yang diberikan tanpa imbalan. tetapi bisa juga hal-hal diatas bisa di asingkan dari ke-ikut campuran orang lain dari diri kita.

yang menjadi pertanyaan apakah hal-hal tersebut bisa dikategorikan kepada hal-hal yang mempunyai nilai. jika memang mempunyai nilai maka hal tersebut bisa dimasukan kepada hal-hal yang bisa di perjual belikan.

tetapi jika hal-hal diatas tidak mempunyai nilai maka siapa saja bisa dengan bebas memiliki, meminta bahkan "mencuri" secara legal, mengingat hal-hal diatas terlepas dari nilai, sehingga terlepas juga dari hak cipta dan kepemilikan,...

oleh karena marx berpendapat bahwa ada dua value, yaitu nilai jual dan nilai tukar,, ada hal-hal yang bisa dijual dan ditukarkan dan dijual, ada juga yang hanya bisa dijual tapi tidak untuk ditukarkan dan seterusnya....

kembali lagi kepada pembahasan diatas,, maka termasuk yang manakah diantara value-value yang diajukan oleh karlmarx dalam mendefinisikan sebuah nilai?.  

Oleh             : muhamad rizal
referensi      : http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1847/kemiskinan/Bab1Sub1.htm

Read more

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting