oleh;
Endang Ruswandi
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Macam-macam etika
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.
Moral dan Hukum
Hukum dijiwai oleh moralitas. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah quid leges sine moribus (apa arti undang-undang tanpa moralitas?). Moral juga membutuhkan hukum agar tidak mengawang-awang saja dan agar berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Sedikitnya ada empat perbedaan antara moral dan hukum. Pertama, hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara sistematis disusun dalam undang-undang. Karena itu hukum memunyai kepastian lebih besar dan lebih objektif. Sebaliknya, moral lebih subjektif dan perlu banyak diskusi untuk menentukan etis tidaknya suatu perbuatan. Kedua, hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut juga aspek batiniah. Ketiga, sanksi dalam hukum dapat dipaksakan, misalnya orang yang mencuri dipenjara. Sedangkan moral sanksinya lebih bersifat ke dalam, misalnya hati nurani yang tidak tenang, biarpun perbuatan itu tidak diketahui oleh orang lain. Kalau perbuatan tidak baik itu diketahui umum, sanksinya akan lebih berat, misalnya rasa malu. Keempat, hukum dapat diputuskan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Tetapi moralitas tidak dapat diputuskan baik-buruknya oleh masyarakat. Moral menilai hukum dan bukan sebaliknya.
[Disarikan dari K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 3-45]
Pertama-tama menurut A. Sudiarja, manusia adalah mahluk yang hidup. Akan tetapi kehidupan manusia berbeda dengan mahluk hidup lainnya, baik hewan ataupun tumbuhan. Tidak hanya itu mesin juga sering dikatakan “hidup”. Lalu apa sebenarnya ciri khas dari kehidupan manusia? Menurut Sudiarja jawaban atas pertanyaan ini sangatlah penting, terutama untuk memahami alasan mengapa orang harus menghargai hidupnya.
Semua mahluk hidup dapat dikatakan sebagai hidup, jika ia bergerak dan melakukan kegiatan. Dalam arti ini sebenarnya mesin juga bisa dikatakan sebagai benda hidup. Namun jika diperhatikan lebih jauh, gerak mesin berbeda secara kualitatif dengan organisme yang hidup. Mesin bergerak karena ada intervensi dari luar. Ia juga mati karena intervensi yang kurang lebih sama. Maka kehidupan mesin adalah sesuatu yang artifisial. Kehidupan mesin adalah kehidupan tiruan dari organisme yang sungguh hidup. Mesin hanyalah benda mati.
Mahluk hidup adalah entitas yang secara konstan mempertahankan dan memperkembangan dirinya. Kedua kecenderungan itu paling tampak di dalam diri manusia. Dalam arti ini pendekatan biologis dan kimia belumlah cukup untuk memahami manusia, karena manusia lebih dari sekedar entitas biologis dan kimiawi. Pendekatan psikologi pun tidak mencukupi untuk memahami manusia, karena manusia lebih dari sekedar mahluk yang merasa di dalam hidupnya. Kehidupan manusia kaya akan cinta, penderitaan, perjuangan, dan harapan. Semua itu tidak dapat diterangkan dengan pendekatan biologis atau psikologis semata.
Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa setiap organisme hidup memiliki jiwa. Jiwa adalah prinsip integritas atau pemersatu seluruh kegiatan yang dilakukan organisme itu. Benda mati tidaklah memiliki jiwa semacam ini. Filsafat manusia membedakan tiga tingkatan dari jiwa organisme. Pada masing-masing tingkatan, jiwa berperan secara berbeda. Yang pertama adalah jiwa vegeter. Jiwa vegeter bertindak dengan kualitas raganya. Kegiatan jiwa vegeter, dengan demikian, identik dengan kegiatan fisiknya. Contonya adalah tanaman. Gerak tanaman adalah pertumbuhan batang, daun, dan akar, dan itu semua sudah merupakan semua kegiatannya.
Yang kedua adalah jiwa sensitif. Kegiatan jiwa ini melampaui kegiatan ragawi. Artinya kegiatan jiwa ini memang masih melibatkan raga, tetapi sekaligus tidak tergantung dengannya. Kegiatan jiwa sensitif menghasilkan perasaan-perasaan seperti senang, sedih, nikmat, dan sakit. Ini adalah kegiatan mental manusia yang tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan kegiatan fisik, walaupun masih melibatkan fisik itu sendiri. Yang ketiga adalah jiwa rohani. Menurut Sudiarja jiwa rohani mengatasi raga, sehingga bisa bertindak melampaui perasaan dan organ-organ material. Hasilnya berupa pemikiran, argumentasi, dan cita-cita yang bersifat menetap.
Sebagai mahluk hidup manusia adalah individu yang memiliki kesatuan. Kesatuan ini disebut juga sebagai kesatuan substansial. Pada manusia kesatuan substansial ini sangat kuat, sehingga menghasilkan fenomena kesadaran dan subyektivitas. Subyektivitas ini memungkinkan orang untuk mengatakan “aku” sebagai orang yang bertanggungjawab. Kesatuan substansial ini adalah kesatuan yang kompleks dari keseluruhan dimensi manusia. Kesatuan ini juga berbeda dengan bagian-bagian yang membentuknya. Kesatuan bagian lebih tinggi dari sekedar kumpulan dari bagian-bagian itu. Kesatuan inilah yang merupakan inti kehidupan manusia.
sumber : Tim Dosen UPT-MKU Unika Widya Mandala, Diktat Filsafat Manusia, Surabaya, tidak dipublikasikan. Diktat kuliah kumpulan tim dosen MKU ini juga banyak mengacu pada catatan kuliah yang dibuat oleh A. Sudiarja di Yogyakarta.
(download dalam bentuk document)
Endang Ruswandi
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Macam-macam etika
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.
Moral dan Hukum
Hukum dijiwai oleh moralitas. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah quid leges sine moribus (apa arti undang-undang tanpa moralitas?). Moral juga membutuhkan hukum agar tidak mengawang-awang saja dan agar berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Sedikitnya ada empat perbedaan antara moral dan hukum. Pertama, hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara sistematis disusun dalam undang-undang. Karena itu hukum memunyai kepastian lebih besar dan lebih objektif. Sebaliknya, moral lebih subjektif dan perlu banyak diskusi untuk menentukan etis tidaknya suatu perbuatan. Kedua, hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut juga aspek batiniah. Ketiga, sanksi dalam hukum dapat dipaksakan, misalnya orang yang mencuri dipenjara. Sedangkan moral sanksinya lebih bersifat ke dalam, misalnya hati nurani yang tidak tenang, biarpun perbuatan itu tidak diketahui oleh orang lain. Kalau perbuatan tidak baik itu diketahui umum, sanksinya akan lebih berat, misalnya rasa malu. Keempat, hukum dapat diputuskan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Tetapi moralitas tidak dapat diputuskan baik-buruknya oleh masyarakat. Moral menilai hukum dan bukan sebaliknya.
[Disarikan dari K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 3-45]
Pertama-tama menurut A. Sudiarja, manusia adalah mahluk yang hidup. Akan tetapi kehidupan manusia berbeda dengan mahluk hidup lainnya, baik hewan ataupun tumbuhan. Tidak hanya itu mesin juga sering dikatakan “hidup”. Lalu apa sebenarnya ciri khas dari kehidupan manusia? Menurut Sudiarja jawaban atas pertanyaan ini sangatlah penting, terutama untuk memahami alasan mengapa orang harus menghargai hidupnya.
Semua mahluk hidup dapat dikatakan sebagai hidup, jika ia bergerak dan melakukan kegiatan. Dalam arti ini sebenarnya mesin juga bisa dikatakan sebagai benda hidup. Namun jika diperhatikan lebih jauh, gerak mesin berbeda secara kualitatif dengan organisme yang hidup. Mesin bergerak karena ada intervensi dari luar. Ia juga mati karena intervensi yang kurang lebih sama. Maka kehidupan mesin adalah sesuatu yang artifisial. Kehidupan mesin adalah kehidupan tiruan dari organisme yang sungguh hidup. Mesin hanyalah benda mati.
Mahluk hidup adalah entitas yang secara konstan mempertahankan dan memperkembangan dirinya. Kedua kecenderungan itu paling tampak di dalam diri manusia. Dalam arti ini pendekatan biologis dan kimia belumlah cukup untuk memahami manusia, karena manusia lebih dari sekedar entitas biologis dan kimiawi. Pendekatan psikologi pun tidak mencukupi untuk memahami manusia, karena manusia lebih dari sekedar mahluk yang merasa di dalam hidupnya. Kehidupan manusia kaya akan cinta, penderitaan, perjuangan, dan harapan. Semua itu tidak dapat diterangkan dengan pendekatan biologis atau psikologis semata.
Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa setiap organisme hidup memiliki jiwa. Jiwa adalah prinsip integritas atau pemersatu seluruh kegiatan yang dilakukan organisme itu. Benda mati tidaklah memiliki jiwa semacam ini. Filsafat manusia membedakan tiga tingkatan dari jiwa organisme. Pada masing-masing tingkatan, jiwa berperan secara berbeda. Yang pertama adalah jiwa vegeter. Jiwa vegeter bertindak dengan kualitas raganya. Kegiatan jiwa vegeter, dengan demikian, identik dengan kegiatan fisiknya. Contonya adalah tanaman. Gerak tanaman adalah pertumbuhan batang, daun, dan akar, dan itu semua sudah merupakan semua kegiatannya.
Yang kedua adalah jiwa sensitif. Kegiatan jiwa ini melampaui kegiatan ragawi. Artinya kegiatan jiwa ini memang masih melibatkan raga, tetapi sekaligus tidak tergantung dengannya. Kegiatan jiwa sensitif menghasilkan perasaan-perasaan seperti senang, sedih, nikmat, dan sakit. Ini adalah kegiatan mental manusia yang tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan kegiatan fisik, walaupun masih melibatkan fisik itu sendiri. Yang ketiga adalah jiwa rohani. Menurut Sudiarja jiwa rohani mengatasi raga, sehingga bisa bertindak melampaui perasaan dan organ-organ material. Hasilnya berupa pemikiran, argumentasi, dan cita-cita yang bersifat menetap.
Sebagai mahluk hidup manusia adalah individu yang memiliki kesatuan. Kesatuan ini disebut juga sebagai kesatuan substansial. Pada manusia kesatuan substansial ini sangat kuat, sehingga menghasilkan fenomena kesadaran dan subyektivitas. Subyektivitas ini memungkinkan orang untuk mengatakan “aku” sebagai orang yang bertanggungjawab. Kesatuan substansial ini adalah kesatuan yang kompleks dari keseluruhan dimensi manusia. Kesatuan ini juga berbeda dengan bagian-bagian yang membentuknya. Kesatuan bagian lebih tinggi dari sekedar kumpulan dari bagian-bagian itu. Kesatuan inilah yang merupakan inti kehidupan manusia.
sumber : Tim Dosen UPT-MKU Unika Widya Mandala, Diktat Filsafat Manusia, Surabaya, tidak dipublikasikan. Diktat kuliah kumpulan tim dosen MKU ini juga banyak mengacu pada catatan kuliah yang dibuat oleh A. Sudiarja di Yogyakarta.
(download dalam bentuk document)
0 komentar:
Posting Komentar