Sabtu, 22 Oktober 2011

Jenis-Jenis Sejarah Dalam Pandangan Hegel

0




Berangkat dari kesepakatan lalu, tepatnya hari rabu tanggal 28 juli 2010, saya dan saudara Rais sebagai sesama mahasiswa Aqidah Filsafat akan coba saling memaparkan pemahamannya perihal pembagian sejarah menurut Hegel, yang dijadwalkan pada hari sabtu tanggal 31 Juli 2010, pukul tiga sore. Sebut saja ini semacam sharing pemahaman perihal konsep yang sama-sama kami baca.

Dalam tulisan ini, saya bukan hendak memperbincangkan dialektika Hegel atau pun memperbincangkan apa itu diskusi. Yang ingin saya sampaikan adalah jenis-jenis sejarah menurut Hegel. Mengingat Hegel sendiri besar perhatiannya pada kajian sejarah. Ia sendiri menulis buku berjudul Filsafat Sejarah (Rechtsphilosophie), yang di dalam bukunya banyak orang berpendapat bahwa Hegel tidak sedang menulis sejarah melainkan sedang menulis filsafat. Sejarah itu sendiri dalam perspektif Hegel tidak bisa lepas dari apa yang ia namakan Yang Absolut ( atau “Roh”, “Idea”, “Rasio”) sebagai pondasi dasar sistem filsafatnya.


Jenis-jenis Sejarah

Sejauh tangkapan saya yang sederhana dalam buku Filsafat Sejarah karya Hegel ( Terjemahan, Cuk Ananta Wijaya ), sejarah dalam pandangan Hegel dibagi menjadi tiga. Yaitu:
  • Sejarah Asli,
  • Sejarah Reflektif,
  • dan Sejarah Filsafati.

Mengenai jenis yang pertama, penyebutan salah satu atau dua nama yang terkenal akan memberikan warna yang khas. Kategori ini diberikan oleh Herodotus, Thucydides, dan para sejarawan lain yang memiliki orde yang sama, yang pemaparannya sebagian besar terbatas pada perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan dihadapan mereka, dan mereka turut ambil bagian di dalam semangatnya. Mereka secara sederhana memindahkan apa yang berlangsung di dunia sekitar mereka, kawasan intelek representative, Sebuah fenomenon lahir, dengan demikian, diterjemahkan menjadi sebuah konsepsi batin. Dengan cara yang sama, penyair bekerja dengan bahan yang diberikan kepadanya oleh perasaannya; memproyeksikannya menjadi sebuah citra tentang kemampuan konseptif. Adalah benar, para sejarawan asli menemukan pernyataan dan cerita tentang orang lain yang ada di tangan. Orang tidak dapat menjadi saksi nyata atau pun telinga atas segala sesuatu. Namun mereka mendapatkan bantuan seperti itu hanya sebagai penyair karena warisan bahasa yang telah terbentuk, dengan itu ia mendapatkan banyak; semata-mata hanya sebagai bahan. Para sejarawan merangkai unsure-unsur cerita yang cepat berlalu dan menyimpannya untuk diabadikan di dalam kuil Mnemosyne.

¨ Legenda, cerita balada, tradisi harus disingkirkan dari Sejarah Asli ¨ Ini tidak lain merupakan bentuk pemahaman sejarah yang samar dan tidak jelas, karenanya menjadi milik bangsa yang baru bangun kecerdasannya. Sebaliknya, di sini kita harus berhubungan dengan bangsa yang sepenuhnya sadar terhadap apa yang mereka miliki dan apa yang mereka dambakan. Kawasan realitas—yang nyata-nyata terlihat, atau yang dapat dilihat—memberikan dasar yang sangat berbeda dalam hal ketegasan dengan unsur yang lekas hilang dan bersifat khayal, di situ dilahirkan legenda dan mimpi puitis yang kehilangan nilai historisnya, segera sesudah bangsa tersebut mencapai kematangan individualitasnya. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:1-2)

Para Sejarawan Asli tersebut kemudian mengubah peristiwa, perbuatan dan keadaan masyarakat yang mereka kenal menjadi sebuah objek kemampuan konseptif. Oleh karena itu, cerita yang mereka tinggalkan kepada kita tidak dapat terpahami sepenuhnya. Herodotus, Thucydides, Guicciardini dapat dikelompokan sebagai contoh golongan ini. Apa yang hadir dan hidup di lingkungan mereka adalah bahan yang tepat. Berbagai pengaruh yang membentuk penulis identik dengan yang membentuk peristiwa yang merupakan materi ceritanya. Semangat pengarang, dan berbagai perbuatan yang dia ceritakan, adalah satu dan sama. 


Dia memaparkan kancah tempat dia sendiri menjadi salah seorang pelakunya atau, sampai tingkat tertentu, menjadi seorang penonton yang penuh perhatian. Adalah periode waktu yang pendek, berbagai bentuk persona dan kejadian individual, tunggal, sifat yang tidak terlukiskan, dari situlah dia menciptakan gambarnya. Dan tujuannya tidak lain daripada penyajian keturunan (posterity) sebuah cerita peristiwa yang sama jelasnya dengan yang dimilikinya sendiri berdasarkan observasi pribadi, atau deskrifsi yang sehidup mungkin. Permenungan bukan merupakan urusannya, karena dia hidup dalam ruh subjek. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:2-3 )

Dalam Sejarah Asli, unsur yang sifatnya khayali seperti halnya legenda harus disingkirkan. Sejarah jenis ini mendasarkan dirinya pada sepenuhnya fakta yang terjadi di sekitar penulis sejarah. Dan penulis sejarah itu sendiri berada di dalam sejarah yang ia tulis sendiri, baik sebagai pelaku sejarah maupun penonton yang penuh perhatian. Itulah sejarah yang hidup dalam ruh subjek jauh dari ketinggian ruh absolut.

Sejarah jenis kedua, disebut sebagai Sejarah Reflektif. Sejarah ini pun terbagi lagi menjadi empat jenis. Namun, berbeda dengan jenis Sejarah Asli, Sejarah Reflektif oleh Hegel diberi pengertian sebagai sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya ia berhubungan, melainkan yang ruhnya melampaui masa kini. Jika dalam Sejarah Asli seorang penulis sejarah berada di dalam sejarah yang ia tulis, sama-sama berada dalam ruh zaman yang ditulisnya, maka Sejarah Reflektif tidak seperti itu. Seorang penulis sejarah jenis kedua ini tidak terbatasi oleh waktu, tempat dan kebudayaan, ia bisa saja menyajikan sejarah suatu zaman berbeda dengan Ruh dirinya sebagai penulis.

Ada Sejarah Reflektif yang sifatnya pragmatis. Sejarah jenis ini ditulis untuk diambil manfaatnya. Seperti model sejarah yang ditulis oleh Johannes v. Muller yaitu Sejarah Swiss yang Nampak memiliki tujuan moral. Dia menulis sejarah itu, bermaksud menyiapkan satu badan ajaran politik untuk diajarkan pada pangeran, pemerintah dan rakyat.

Kemudian, Sejarah Reflektif yang ditulis hanya untuk sekedar mendapat pandangan tentang suatu bangsa dan Negara, atau tentang dunia. Sejarah jenis ini ditulis mirip dengan Sejarah Asli, manakala ia ditulis tidak memiliki tujuan yang lebih jauh daripada untuk menyajikan sejarah sebuah negeri yang lebih utuh. Penulis sejarah jenis ini menulis sejarah sedemikian jelasnya sehingga pembaca seolah dapat mengkhayalkan dirinya menjadi saksi mata atas peristiwa yang dicerita dalam sejarah. Meskipun efeknya pada pembaca bisa sedemikian nyata, perlu dicatat sejarah jenis ini tidak seperti Sejarah Asli, yang penulisnya berada dalam satu orde dan ruh sejarah yang ditulisnya. Penulis Sejarah Reflektif ini tidak terikat ruang dan waktu saat sejarah itu terjadi, ia bahkan berbeda kebudayaan dan zamannya.

Bentuk Sejarah Reflektif yang ketiga adalah yang bersifat Kritis. Bentuk ini pantas disebut sebagai cara menceritakan sejarah yang unggul. Bukan sejarah itu sendiri yang dihadirkan di sini. Kita mungkin lebih tepat menunjukannya sebagai sebuah sejarah tentang sejarah; sebuah kritik terhadap penceritaan sejarah dan sebuah pengkajian atas kebenaran dan kredibilitasnya. Kekhususannya dalam kenyataan dan tujuan, terkandung di dalam ketajaman penulis memeras segala sesuatu dari catatan yang tidak terdapat dalam materi yang tercatat(J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:10) . Model penulisan sejarah ini lebih bersifat menggugat dan menentang fakta sejarah yang telah ditetapkan dengan baik.

Lalu yang terakhir Sejarah Reflektif yang sifatnya tematik, seperti halnya Sejarah Seni, Hukum atau Agama. Sejarah jenis ini menunjukan ketidaklengkapannya karena ia hany disajikan berdasar tema-tema tertentu.

Yang berikutnya yaitu sejarah jenis ketiga, adalah Sejarah Filsafati seyogyanya sejarah jenis ini mendapatkan ruang yang luas untuk dituliskan di sini. Mengingat di sinilah point-point pemikiran Filsafat Sejarah Hegel tertuang dan jenis Sejarah Filsafatilah yang Hegel di dalamnya bergelut. Namun, karena keterbatasan saya dalam memahami pemikiran Hegel ini, maka saya hanya akan menuliskan sangat sedikit kefahaman perihal pemikiran Hegel yang satu ini. Dimulai dari definisi umum yang Hegel paparkan perihal Filsafat Sejarah atau Sejarah Filsafati. Yaitu, bahwa Filsafat Sejarah tidak menggunakan sarana apa pun kecuali pertimbangan pemikirannya terhadapnya. Bagi Hegel, pemikiran adalah unsur yang tetap dan hakiki bagi kemanusiaan.

Kemudian Hegel menggunakan kata Rasio. Rasio adalah penguasa dunia, dengan demikian, sejarah dunia memberikan proses yang rasional pada kita. Proses yang rasional bagi saya adalah proses yang bisa terpahami dan pada dirinya adalah proses yang sadar diri. Lalu apakah yang sadar diri itu? Materikah? Atau Ruh kah? Materi dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang saling menyisihkan oleh karenanya Materi bersifat menghancurkan dirinya. Jika Materi sampai pada titik yang tak dapat dibagi lagi, ia tidak lagi menjadi Materi, ia telah lenyap bersatu pada sesuatu yang lain yang menjadi pusatnya. Sedangkan Ruh berbeda dengan Materi yang berpusat pada sesuatu di luar dirinya (Materi memiliki gaya berat), Ruh tidak seperti itu, ia adalah sesuatu yang berpusat pada dirinya sendiri. Ruh adalah eksistensi yang mengandung dirinya sendiri. Ia bebas, tidak tergantung pada sesuatu di luar dirinya melainkan bergantung pada dirinya sendiri. Itulah yang disebut kesadaran diri menurut Hegel. Kesadaran diri berarti kebebasan.

Dan sejarah bagi Hegel adalah gerak kebebasan. Sejarah dimulai dari kekurangbebasan, Ruh Dunia yang kurang sadar diri. Sejarah berjalan linier. Dimulai dari Orang Timur. Orang Timur telah tahu bahwa ¨ manusia itu bebas ¨ namun kebebasannya hanyalah aksidensi dari Alam. Alam pikiran manusia masih dikuasai oleh bayang-bayang kekuasaan Alam yang serba misterius. Kemudian, kesadaran akan kebebasan lahir di Yunani dan Romawi. Itu pun hanya sebagian manusia, tidak manusia secara utuh. Sebagian manusia masih berada di dalam bayang-bayang perbudakan. Kebebasan tumbuh dan berlaku bagi sebagian manusia, sifatnya terbatas dan sementara saja. Maka bangsa Jerman, di bawah pengaruh agama kristenlah yang benar-benar mencapai taraf kesadaran dirinya yang utuh. Bahwa manusia sebagai manusia adalah bebas. Bangsa Jerman, bagi Hegel adalah model Ruh Dunia (yang sadar diri) mencapai kematangan sejarah yaitu kebebasan. Dan agama Kristen adalah inspirasinya.

Kira-kira begitulah hasil bacaan dan pemahaman saya perihal Sejarah Filsafati (atau Filsafat Sejarah) yang lebih berfokus pada “Yang Ada” yang eksis jadi penggerak dunia. Yaitu, Ruh Dunia (atau “Rasio”) yang bergerak menuju kebebasan, keabadian, kesatuan atau absolutisme.

Read more

Selasa, 11 Oktober 2011

Ateisme Sartre

0


oleh   : Yoga ZaraAndritra

jean paul satre


Tidak seperti materialisme yang kita kenal yang telah menihilkan adanya Tuhan karena alasan Tuhan itu hanya khayalan dan tidak dapat dibuktikan secara material. Bagi seorang materialis yang ada itu ialah yang materil, wajar saja ketika konsep Tuhan mereka tolak karena bagi mereka Tuhan itu tidak materil Tuhan itu hanya khayalan. Mereka yang menganut faham ini kebanyakan dari kalangan komunis terutama komunis yang ditafsir oleh Lenin. Lenin telah menafsir Marxisme dengan caranya yang paling radikal. Tulisan Marx yang menyatakan bahwa agama ialah candu telah Lenin tafsir sebagi ketiadaan Tuhan. Disamping itu Marx yang adalah juga pengagum Hegel.ingin menarik konsep dilektika Hegel ke tataran material. Marx menafsir capital,uang,alat produksi itulah yang telah menjadi kenyataan sejarah sejak dulu dan menentukan proses jalannya sejarah.
Eksistensialisme Sartre telah menihilkan Tuhan bukan dari sisi material. Dalam konteks “adanya” manusia justru eksistensialisme menolak Materialisme karena secara hakikat kaum materialisme telah menyamakan manusia dengan benda. Menurut faham eksistensialisme Sartre, manusia dengan benda jelas berbeda. Jika benda tidak mempunyai kesadaran otomatis ia tidak berada seperti manusia berada. Adanya benda ialah ada begitu saja. K. Bertens dalam bukunya Filsafat Kontemporer Prancis menjelaskan bahwa ada begitu saja ini ialah ciri dari etre en soi. Etre en soi ini sama sekali identik dengan dirinya.  Etre en soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif tidak negative: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia. Etre en soi tidak mempunyai masa silam, masa lalu, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan atau tujuan. Etre en soi itu sama sekali kontingen.: artinya ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatau yang lain. Benda yang saya maksud disini ialah segala sesuatu selain manusia. Jika argument Sartre terhadap alam semesta ini ialah ada begitu saja maka Tuhan menjadi tidak relevan untuk ada. Tetapi dalam eksistensialismenya, Sartre berbicara ontology lebih pada manusianya.
Sedangkan, untuk manusia bagi Sartre berada dengan bereksistensi. Bagi Sartre manusia memiliki kesadaran intensional yaitu dia(manusia) menjadi sadar bahwa dirinya ada dengan cara menyadari adanya sesuatu diluar dirinya. Misalnya tatkala saya melihat makanan atau kulkas saya menjadi sadar bahwa saya bukanlah kulkas atau makanan itu, saya adalah saya. Disitu saya sadar diri. Bereksistensi ialah proses menyadari. Penulis gunakan kata proses karena bereksistensi adalah juga “menjadi”. Menjadi disini mengandung arti adanya manusia bukan adanya yang telah jadi, bukan adanya yang beresensi terlebih dahulu lalu bereksistensi. Ujaran Sartre yang terkenal mengenai manusia ialah bahwa manusia itu bereksistensi terlebih dahulu lalu beresensi. Ajaran inilah yang menjadi salah satu dalih meniadakan Tuhan karena jika Tuhan ada otomatis manusia telah ada terlebih dahulu konsep, ide(esensi) mengenai akan diciptakannya manusia lalu manusia diciptakan sehingga menjadi ada (eksist). Oleh karenanya bila ingin meniadakan Tuhan Eksistensi haruslah mendahului esensi. Untuk pembahasan mengenai mengapa harus Tuhan ditiadakan?akan penulis sajikan disub judul selanjutnya.

Kebebasan Adalah Tuhan Sartre
Tuhan yang penulis maksud disini ialah bukan Tuhan yang personal. Tuhan disini ialah Tuhan yang sudah senantiasa bersemayam dan bergumul dengan diri manusia dan dalam diri manusia. Tuhan yang bukan berada jauh disana tidak tersentuh dan bersembunyi, bukan yang metafisik. Melainkan Tuhan yang dengan itu Sartre menyandarkan semua argument Filosofisnya, itulah dia Sartre namakan Kebebasan. Dan, manusia itu sendiri Sartre katakan kebebasan.Dari semua ajaran filsafat Sartre yang penulis fahami dan telah penulis baca dari buku-buku yang mengulas tentang Sartre,  semuanya bermuara pada term ini yaitu kebebasan. Bahkan, sepertinya argument etre en soinya Sartre yang dengan ini beliau meniadakan adanya Tuhan, pun adalah sebuah dalih kebebasan manusia. Karena bila Tuhan yang metaisik ini ada maka manusia menjadi tidak bebas. 

Read more

Senin, 10 Oktober 2011

Selayang Pandang Eksistensialisme Menurut Sartre

0




jean paul satre

Dalam artikel ini penulis akan mengangkat tema eksistensialisme, khususnya eksistensialisme Sartre. Tema inilah yang dapat penulis sajikan. Ini tidak terlepas dari kurangnya referensi mengenai tema yang sesungguhnya penulis ingin angkat yaitu kritisismenya Imanuel Kant. Karena hal itulah penulis urungkan niat untuk memenuhi tugas kuliah Filsafat aliran dengan tema kritisisme Kant. Tapi bukan berarti diangkatnya tema eksistensialisme Sartre mencirikan bahwa penulis sudah sangat lengkap referensi tentang eksistensialisme tapi pas-pasan. Pas-pasan karena penulis merasa bahwa bahan-bahan yang ada sudah dipandang cukup untuk memenuhi kriteria penyusunan artikel filsafat, yaitu terangkumnya analisis mengenai ontology, epistemology, dan aksiologi dari pemikiran tokoh aliran filsafat tertentu.
Meskipun begitu penulis akan berusaha sajikan secara maksimal tema yang akan sedikit diulas ini. Eksistensialisme juga sepanjang yang penulis amati ternyata amat mengena terhadap jiwa beberapa mahasiswa UIN. Mereka ini teman saya juga. Berdasarkan yang penulis amati mereka rata-rata sangat faseh dan hapal istilah-istilah yang digunakan kaum eksistensialis bahkan mereka mentasbihkan diri sebagai pengikut aliran eksistensialis. Kata-kata yang sangat lumrah terucap dari mulut mereka ialah,”bebas we jeung say amah”/ “abdi mah jalmi bebas”. Itulah kata-kata yang biasa mereka ucapkan dalam berkomunikasi. Fenomena seperti ini kiranya kita bisa gali dari ajaran yang mereka yakini. Seperti apakah eksistensialisme itu?menjadi tanda tanya besar bagi penulis saat mulai dikenalkan dengan wacana-wacana asing seperti itu. Penulis sempat bertanya beberapa isi dari pemikiran salah satu tokoh eksistensialisme pada seorang teman satu jurusan yang dipandang kompeten, membaca buku-buku yang mengulas tentang eksistensialisme dan lain sebagainya. Sehingga akhirnya kini penulis memiliki sedikit kepahaman tentang tema yang digandrungi oleh beberapa teman penulis. Dan kiranya penulis akan sajikan dalam artikel ini.



Riwayat Hidup Sartre

JEAN-PAULSARTE lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. ayahnya adalah perwira angkatan laut Prancis dan Ibunya Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan anak satu-satunya Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Zerman didaerah Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun setelah kelahiran Sartre dan Ibu bersama anaknya pulang kerumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun mereka pindah ke Paris.
            Charles Schweitzer, memegang peranan besar sekali dalam membesarkan Sartre dan mengembangkan bakatnya sebagai pengarang. Kakek itu sebenarnya beragama Kristen Protestan, tetapi ia menyetujui bahwa anak-anaknya dididik dalam agama istrinya, Louise Guillemin, yaitu agama Kristen Katolik Sartre juga dibaptis dan dibesarkan secara Katolik.
            Sampai umur sepuluh tahun empat bulan anak yang sangat pandai itu diberi pengajaran di rumah. Selama itu ia hidup ditengah-tengah orang dewasa, tanpa adik, tanpa teman sebaya. Dunianya adalah perpustakaan kakeknya. Dapat dimengerti bahwa dengan masuk sekolah suatu dunia sama sekali baru terbuka bagi dia. Ia diterima di lycee Henri IV  di Paris, tetapi tahun berikut ibunya menikah lagi dan mereka pindah lagi ke La Rochelle. Sesudah beberapa tahun ia disekolahkan lagi di Paris, yaitu Lycee Louis-le-Grand. Pada tahun 1924 ia sempat masuk di Ecole Normale Superieure, perguruan tinggi ini yang paling selektif dan paling terkemuka di Prancis. Untuk ujian Agregation ia satu kali jatuh tetapi tahun berikutnya, tahun 1929, ia berhasil meraih Agregation de philosophie sebagai nomer satu.
            Sekitar tahun 1929 Sartre berkenalan dengan Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat di Universitas Sorbonne. Pertemuan itu menjadi titik tolak persahabatan akrab sepanjang hidup mereka. Tetapi mereka menolak untuk menikah, sebab perkawinan oleh mereka, kata Simone de Beauvoir, dianggap sebagai suatu lembaga borjuis saja.
            Sebagai mahasiswa dan guru muda Sartre termasuk golongan  intelektual      berhaluan kiri. Objek kritiknya terutama kaum borjuis dengan norma-norma dan tradisinya. Dibidang filsafat, Sartre dan kawan-kawannya menyerang idealisme dan setiap pemujaan terhadap “hidup batin”. Mereka mengkritik professor-profesor mereka di Universitas yang berpretensi dapat mencapai perubahan-perubahan kemasyarakatan hanya dengan ide-ide atau koreksi terhadap ide-ide. Kritik ini tentu dipengaruhi pengalaman sekitar Perang Dunia I dan Revolusi di Rusia. Di kemudian hari ia akan mengatakan bahwa pada waktu itu ia belum menyadari bahwa filsafat yang dicarinnya sebenarnya sudah ada, yaitu Marxisme. Ia memang membaca beberapa karya Karl Marx, tetapi diakuinya kemudian belum masuk sungguh-sungguh kedalam alam pikiran ini.
             Sejak tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru filsafat di Lycee, berturut-turut di Le Havre, Laon dan Paris. Pada waktu itu ia mulai berkenalan dengan fenomenologi Husrel dan tahun 1933-1934 ia mendapat kesempatan untuk mempelajari lebih mendalam aliran filsafat ini pada “Lembaga Prancis” di Berlin.
             Dalam periode yang sama Sartre memulai kariernya sebagai Sastrawan. Salah satu karya sastra yang penting ialah novelnya yang pertama berjudul La Nausee (1938). Disini dengan lebih jelas kita menemui sejumlah tema yang akan kembali dalam filsafanya nanti. Ia juga mulai terjun dalam kritik kesenian. Pelbagai majalah memuat karangan-karangannya tentang kesustraan maupun seni rupa.
            Setelah studinya selesai Sastre sudah memenuhi wajib militer (1929-1931). Ketika Perang Dunia II pecah, ia dipanggil lagi masuk ketentaraan. Karena tugasnya pada dinas meteorology, ia mempunyai waktu luang untuk membaca dan menulis. Dari Juni 1940-April 1941 ia ditahan di Zerman sebagi tahanan perang. Dalam tahanan ia menulis dan menyutradarai sebuah drama yang mengisahkan peristiwa natal, tetapi sebenarnya mengecam pendudukan Palestina oleh tentara Roma. Bagi penonton budiman cukup jelas bahwa apa yang dimaksudnya sesungguhnya pendudukan Prancis oleh tentara Zerman. Pengalaman ini membuka mata Sartre bagi drama sebagai media ekspresi.
            Pada tahun 1964 Sastre dipilih sebagai pemenang hadiah nobel bagian kesusastraan. tetapi ia menolak, dengan itu ia menolak keuntungan financial yang tidak sedikit. Menrima hadiah itu demikian pendapatnya akan mengurangi kebebasannya, karena dengan itu ia dimasukan kedalam golongan tertentu, yaitu golongan borjuis atau kapitalis. Kegiatannya sebagai pengarang akan dibekukan. Karena alasan yang sama katanya ia akan menolak juga hadiah Lenin, seandainya diberikan oleh Uni Soviet. Selaku pengarang ia ingin tetap mempertahankan posisinya yang independen ditengah blok-blok social politik yang ada pada waktu itu.
            Pada tahun 1966 ia mengambil bagian dalam International Tribunal against war crimes in Vietnam yang telah didirikan oleh filsuf inggris tersohor yaitu Bertrand Russell. Maksud lembaga pengadilan itu adalah menyelidiki kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan Amerika di Vietnam dengan menggunakan norma-norma yang sama yang telah diciptakan oleh Negara-negara demokratis untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan perang Nazi Zerman dalam pengadilan Nuremberg pada tahun 1946.
            Ketika revolusi mahasiswa pecah di Paris pada bulan Mei 1968, Sartre mengikuti peristiwa-peristiwa besar yang berlangsung penuh perhatian besar dan turut mengecam tindakan-tindakan polisi Prancis yang dinilai terlalu kejam.
            Beberapa tahun kemudian(1973) ia mengambil inisiatif untuk menerbitkan surat kabar baru. Bersama dengan suatu staf yang yang terdiri dari orang-orang berhaluan kiri, ia mulai menerbitan harian (non-kapitalistis, katanya) yang akan memperjuangkan kepentingan kaum buruh. Nama yang dipilih ialah liberation(pembebasan). Surat kabar ini tidak memuat iklan, yang dianggapnya sebagai kebiasaan kapitalistis. Dan semua karyawan mendapat gaji yang sama: dari montir mesin sampai dengan dewan redaksi. Tetapi karena kesulitan-kesulitan financial harian ini sering merana dan beberapa kali harus berhenti sementara.
            Ketika ia mencapai usia 70 tahun (1975), kejadian itu diperingati oleh banyak majalah dan media lainnya. Suatu wawancara panjang dengan Sartre disajikan oleh majalah le nouvel observateur. Ia mengakui bahwa sejak dua tahun ia mengidap pelbagai penyakit. Kakinya merasa sakit jika berjalan lebih dari 1 kilometer, dan yang paling berat, matanya semakin kabur hingga hampir buta.membaca dan menulis tidak mungkin lagi: “kegiatan saya sebagai pengarang sudah musnah sama sekali”. Perayaan hari ulang tahun ke-70 itu menjadi semacam pamitan umum. Ia meninggal lima tahun kemudian tanggal 15 April 1980, sesudah sebulan dirawat di Rumah Sakit.  

Read more

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting