Senin, 25 April 2011

Esensi Sebuah Filsafat, bagian 1

0

Oleh      : Sena Zaeni Aqwam


Syaikh Al-mauzun berkata:…………..para filosof mendefinisikan bahwa “filsafat adalah upaya menyelidiki hakikat semua yang ada,” atau “filsafat ialah ilmu tentang prinsip yang paling mendasar” dan lain-lain. Sementara aku sendiri lebih suka mendefinisikannya sebagai  “upaya rasio untuk mengetahui hakikat prinsip-prinsip yang paling mendasar.” Kelak engkau akan mengetahui kebenaran definisi tersebut.
……………


Kemudian Syaikh Al-Mauzun mengeluarkan buku besar dari bawah bantalnya dan mengajak Hayran untuk memulai kembali dialog mereka.
Hayran                  : Buku apa itu, Syaikh?
Syaikh                   : Buku ini berbicara kepada kita tentang para pemikir yang mencari Allah.
Hayran                  : Apa judulnya?
Syaikh                   : Para Filosof Yunani.
Hayran                  : Bagaimana Syaikh bisa mengatakan bahwa buku tersebut menceritakan para pemikir yang mencari Allah?
Syaikh                   : Memang benar, buku tersebut membicarakan para pemikir yang mencari Tuhan Yang Sebenarnya (Allah). Bukankah sudah aku katakana bahwa esensi filsafat adalah mencari TUHAN?
Hayran                  : Saya telah membaca sebagian pemikiran para filosof Yunani klasik, ternyata mereka adalah orang-orang kafir.
Syaikh                   : Memang benar, mereka kafir kepada dewa-dewa Yunani. Namun, tentang Tuhan yang Sebenarnya, mereka masih mencari-Nya. Ada yang mendapat petunjuk, ada yang akalnya tidak sanggup menggambarkan-Nya, dan ada pula yang sesat karena tidak mampu memikirkan-Nya. 


Nanti, engkau akan bahwa pemikiran-pemikiran mereka, meskipun menunjukkan kecerdasan dan keikhlasan didalam pembahasan, namun masing-masing mempunyai pandangan yang meremehkan dan meragukan alam semesta. Di dalam pemikiran mereka, masih terdapat kebenaran yang terletak ditengah-tengah kejanggalan,  ketidakjelasan,  pertentangan pikiran,  keragu-raguan dan pemutar-balikkan kebenaran.


Thales memulai pemikirannya dengan keruwetan berpikir yang menipu, yang kemudian melekat pada rasio para filosof, bahkan juga pada semua orang.  Ia tidak percaya prinsip cretio ex nihilo, yakni bahwu  “  alam tidak mungkin tercipta dari ketiadaan mutlak.”setiap permulaan pada hakikatnya adalah perubahan. Oleh karena itu, mesti ada materi pertama yang bersifat azaliyang menjadi sebab timbulnya semua eksistensi. Materi yang azali tersebut adalah air. Apa yang melatar-belakangi Thales memilih air?


Ketika membahas tentang berbagai eksistensi, ia menemukan setiap materi memiliki potensi untuk berubah dan berganti rupa. Ia menemukan bahwa air itu cair. Kadang-kadang air itu menjadi salju yang  tebal;  kadang-kadang menjadi uap yang halus; dan kemudian kembali lagi menjadi air. Thales melihat bahwa basah menjadi syarat bagi adanya kehidupan. Oleh karena itu, ia yakin bahwa air yang memiliki karakteristik tertentu merupakan asal dari semua eksistensi.


Akan tetapi Anaximenes berpendapat bahwa udara lebih lunak dan lebih mudah berganti daripada air. Udara apabila dingin, ia mencair, dan apabila panas ia menguap. Kemudian ia bertambah kerenggangannya, dan akhirnya kembali menjadi udara.  Anaximenes menganggap bahwa bika kerenggangan udara semakin bertambah, ia tentu akan menjadi api. Dari api itu, terciptalah matahari dan bulan. Apabila semakin menebal, udara iu menjadi awan, dan kemudian menjasi air. Apabila kepadatannya semakin bertambah, ia akan menjadi pasir dan bebatuan.  Anaximenes juga berpendapat bahwa udara adalah sesuatu yang niscaya bagi kehidupan.


Sedangkan Anaximender mengatakan bahwa sesungguhnya pendapat  tentang udara sebagai asal-muasal, tidak relevan dengan sifat-sifat semua yang ada. Air mempunyai sifat-sifat tersendiri, begitu juga udara, serta semua eksistensi yang ada. Oleh karena itu, tidak masuk akal, apabila semua yang ada mengandung sifat-sifat yang berbeda. Yang berbeda-beda ini mesti timbul dari asal yang mempunyai sifat-sifat khusus yang berbeda dari semua yang ada. Dari sinilah, akal Anaximender yang sehat mengharuskan dirinya untuk berkata bahwa asal uasal semua yang ada adalah materi yang tidak berbentuk, tidak berkesudahan dan tidak berbatas.


Hayran                  : Saya akui pembahasan Anaximender menunjukkan adanya pemikiran yang mendalam.  Akan tetapi, apa perlinya disebut materi, apabila materi itu tidak berbentuk, tidak berkesudahan dan tidak berbatas?
Syaikh                   : dari sini, engkau akan melihat kebenaran perkataanku tadi. Para filosof klasik dapat dimaafkan ketika mereka mengingkari dewa-dewa Yunani. Mereka juga dapat dibenarkan apabila rasio mereka yang bebas berusaha mencari asal mula alam. Mereka tidak menisbatkan asal mula alam pada dewa-dewa yang memiliki moral seperti manusia tersebut. Rasio mereka tidak mempercayaibahwa alam semesta ini ciptaan dewa-dewa yang rakus, pembohong, pemabuk, penipu dan cabul. Secara tidak disadari, mereka sedang mencari Tuhan Yang Sebenarnya.


Kemudian, datang Phytagoras yang tidak puas dengan cara tersebut karena berisi penafsiran alam dengan cara naturalis. Ia menempuh metode matematis. Ia berkata bahwa tidak ada sifat yang mencakup alam kecuali sifat angka (le nombre). 


Kita dapat membayangkan sesuatu tanpa warna, rasa,  bau atau  volume. Tapi kita tidak bisa membayangkan sesuatu yang tidak menerima angka. Jadi, angka adalah satu-satunya sifat yang dimiliki bersama oleh semua yang ada di alam. Angka itulah satu-satunya yang pantas menjadi asal muasal alam, sebab semua yang ada di alam merupakan gambaran angka yang berulang-ulang. Angka itu sendiri merupakan gambaran pengulangan dari satu. Jadi, satu itulah yang menjadi asal muasal alam semesta ini, menjadi sebab keberadaannya dan merupakan hakikatnya.


Pemikiran-pemikiran abstrak ini tenggelam dalam fantasi. Namun, itu semua menunjukkan adanya upaya-upaya manusia untuk sampai pad aide tentang Tuhan Yang Sebenarnya, Tuhan Yang terlepas dari sifat-sifat materi, baik yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan oleh mereka.


Hayran                  : Apakah di kalangan orang Yunani klasik terdapat pemikiran tentang eksistensi Tuhan (lain) yang bukan dewa-dewa mereka?
Syaikh                   : Bumi ini tidak pernah sunyi dari pemikiran tentang eksistensi Tuhan Yang sebenarnya sejak manusia menjadi manusia. Dengan akalnya yang mampu berpikir, manusia menjadi makhluk yang berbeda dengan yang lainnya.
Xenophanes, salah seorang filosof Yunani klasik yang mengungguli orang-orang lain pada masanya, membuang jauh-jauh sejumlah mitos Yunani yang berisi gagasan tentang bersatunya jasad manusia dengan Tuhan (antropomorphisme). Ia mencemooh tuhan-tuhan mereka yang makan, minum, beranak dan mati. Ia mengatakan bahwa manusia sendirilah yang mengada-adakan tuhan dan melukiskannya seperti bentuk mereka. Seandainya sapi, singa, atau kuda bisa melukis, tentu mereka akan melukiskan tuhan seperti bentuk mereka. Tidak. Sama sekali tidak demikian! Tidak ada tuhan selain yang satu;eksistensi yang paling tinggi;yang tidak tersusun seperti bentuk kita; dan tidak berpikir seperti kita berpikir. Akan tetapi seluruhnya , ia lihat, ia dengar dan segalanya ia pikirkan.


Sedangkan untuk mengetahui hakikat Tuhan Yang MahaEsa, Xenophanes menganggapnya sebagai sesuatu hal yang mustahil bagi akal kita. Ia mengucapkan perkataannya yang melompat jauh ke muka-2000 tahun dari masanya. Di dalam sejarah metafisika, tidak ada seorangpun yang sanggup mengetahui Tuhan dengan teliti, meskipun-andaikata secara kebetulan di dalam menyifati Tuhan- ia menyatakan suatu kebenaran. Ia sendiri tidak mengetahui bahwa ia berkata yang benar.
Hayran                  : dari ucapan Syaikh yang mengatakan bahwa Xenophanes, dengan kata-katanya itu, telah melompat 2000 tahun dari masanya, saya bisa memahami bahwa filsafat telah sampai pada keyakinan akan eksistensi Tuhan. Jika demikian persoalannya, saya berharap Syaikh membebaskan diri dan jiwa saya dari kebodohan orang-orang dahulu, yang sebagiannya pernah say abaca ketika di Peshawar.  Sebaliknya, saya berharap agar Syaikh membawa saya pada filsafat modern. Syaikh: Aku telah berwasiat sebelumnya agar engkau bersabar. Sekarang aku ulangi wasiat itu untukmu, karena tidak ada faedahnya sama sekali untuk membawamu kepada kesimpulan yang telah dicapai oleh filsafat yang selama ini membingungkan pikiranmu, tanpa mengetahui dahulu apa yang dikatakan oleh filsafat klasik dan orang-orang abad pertengahan. Boleh jadi pendapat orang-orang modern tidak menarik perhatianmu, dan pada saat yang sama, datang orang yang meniupkan kepadamu bahwa kebenaran itu hanya milik orang-orang dahulu, sehingga engkau kembali ragu dan bimbang.


Hayran, engkau tidak akan dapat memahami secara sempurna orang-orang modern, kecuali jika engkau mengetahui orang-orang sebelum mereka. Oleh karena itu, hendaklah engkau bersabar!


Hayran                  : Sekarang saya telah memahami hikmah dari keterikatan Syaikh diantara rangkaian pemikiran itu. Saya berharap Syaikh tidak memarahi saya.
Syaikh                   : Selanjutnya, datang Parmenides yang menganggap bahwa air, udara dan bilangan atau sesuatu yang lain, tidak pantas menjadi asal muasal semua yang ada. Sebab semua yang ada senantiasa berubah. Sedangkan yang kita ketahui, hanya sifat-sifat lahir yang berubah. Semua sifat-sifat ini mengalami perubahan dan kehancuran kecuali satu sifat saja, yaitu sifat wujud (l’etre). Wujud yang abadi inilah yang dapat kita jadikan asal muasal semua yang ada.
Hayran                  : Apakah yang dimaksud sifat wujud itu?
Syaikh                   : Wujud disini, yang dimaksud Parmenides, adalah wujud yang azali, yang tidak berubah-rubah dan tidak hancur. Ia tidak mempunyai masa lampau dan masa depan. Akan tetapi ia meliputi keazalian dan keabadian. Ia tidak bergerak dan tidak dapat dibagi-bagi. Sebab, gerak adalah gambaran dari adanya perubahan. Dengan demikian, ia sempurna dan tidak ada wujud lain dibelakangnya.
Hayran                  : Bagaimana wujud itu bisa terbebas dari gerak dan perubahan, padahal kita melihat, semua yang ada ini bergerak dan berubah?
Syaikh                   : Parmenides tidak menganggap bahwa yang kita lihat dan kita rasakan ini adalah bagian dari wujud. Akan tetapi, ia memandangnnya sebagai gejala atau fantasi (apparences), karena ia hancur dan berubah-ubah. Sedangkan wujud adalah abadi. Sebaliknya, perubahan itu sendiri mengharuskan berkumpulnya wujud dan tanpa wujud. Hal ini adalah mustahil.
Hayran                  : Saya beum paham. Mungkinkah Parmenides hendak berkata tentang panteisme?
Syaikh                   : Begitulah, Hayran. Ia membuat abstraksi didalam pikirannya. Sebab, sebenarnya para filosof tersebut tidak ingin mengingkari wujud. Mereka hanya berusaha mencari yang asal dan sempurna, yang tidak berubah-ubah; yang terlepas dari sifat-sifat wujud, dan yang pantas menjadi penciptanya. Menurutku, ini adalah upaya pencarian Tuhan, meskipun mereka tidak menghendaki dan merasakannya.


Sesudah Parmenides, datanglah muridnya, Milissus. Ia melengkapi pendapat gurunya yang menyatakan wujud itu tidak berakhir, dan ia identik dengan “kehidupan yang berakal”. Apabila engkau mendengarkan pembuktiaannya yang menyatakan bahwa wujud itu azali,  abadi dan tidak berakhir, tidak pula bergerak, serta ia mempunyai “kehidupan yang berakal”, tentu engkau sependapat denganku bahwa pikiran para filosof, disadari atau tidak, senantiasa mencari Tuhan Yang Maha Esa.


Milissus mengatakan bahwa setiap yang baru pasti ada permulaannya. Sedangkan zat yang wujud itu tidaklah baru. Sebab, seandainya baru, tentu berasal dari zat yang tidak wujud. Jadi, yang wujud tersebut  tidak ada permulaannya. Apa yang tidak ada permulaannya, tidak pula mempunyai akhir. Karena ia tidak berakhir, ia tidak pula bergerak, sebab tidak ada lagi tempat sesudahnya untuk bergerak menuju tempat itu. Ia juga tidak berubah-ubah, karena kalau ia berubah-ubah, berarti ia menjadi lebih dari satu. Oleh karena itu, ia adalah esa, azali, abadi, hidup, berakal, dan tidak berubah-ubah. Coba engkau renungkan, Hayran.


Setelah itu datanglah Heraclitus yang pemikirannya senantiasa skeptis; berada diantara corak tendensi abstraktif dan tendensi natural. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu itu, seperti yang kita lihat, senantiasa berubah, berganti-ganti secara terus menerus, dan tidak pernah tetap di dalam suatu keadaan; meskipun hanya sebentar saja. Ketetapan relative yang selama ini kita saksikan adalah suatu khayalan saja sebagai akibat ketidakmampuan kita untuk melihat adanya perubahan itu. Dari semua itu, ia berkesimpulan bahwa suatu benda, antara yang wujud dan yang bukan wujud itu adalah akhir yang menjadi hakikat wujud.


Namun, Heraclitus tidak selalu bersandar pada pendapat tersebut didalam menfsirkan alam semesta ini. Ia bahkan kembali lagi kepada tendensi natural klasik. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa asal muasal alam semesta ini adalah api yang kemudian berubah menjadi udara, dari udara berubah menjadi air, dari air berubah menjadi kering, dari kering ini kembali lagi menjadi air, udara dan api. Demikianlah, seolah-olah ia melihat kehidupan binatang yang disertai dengan panas, lalu ia mengira bahwa ruh itu sendiri ibarat api.


Kemudian, datanglah Empedocles, filosof “empat unsur”. Awalnya ia hendak mengkompromikan pendapat Parmenides dan Heraclitus. Ia mengatakan bahwa wujud ini terdiri dari atom-atom. Apa yang dikatakan oleh Parmenides tentang wujud, bahwa ia tidak bertambah dan berkurang, adalah sesuai dengan atom-atom. Sedangkan apa yang dikatakan oleh Heraclitus tentang akhir kejadian yang terus menerus, membenarkan adanya gambaran yang berubah pada benda-benda. Dari sini, Empodocles ingin mengambil jalan tengah diantara mereka yang menyatakan bahwa alam ini terbentuk dari suatu materi yang mengalami perubahan seperti air, udara dan api, dengan mereka yang mengatakan bahwa materi dari yang wujud itu tidak berubah-ubah. Oleh karena itulah ia membuat teori empat unsur yang terus dipertahankan hingga abad ke-18.


Ia mengira bahwa wujud ini merupakan kumpulan dari empat unsur yaitu tanah, api, air dan udara. Semua yang ada adalah perpaduan dari keempat unsur ini. Perbedaan yang ada padanya hanyalah perbedaan didalam perbandingan unsur-unsurnya.


Sampai disini, Empodocles tampak sejalan dengan sains pada masanya. Bahkan ia mendahului masanya dalam meletakkan teori tentang atom. Akan tetapi, ketika ia berbicara tentang rahasia yang menggerakkan atom-atom tersebut, awalnya ia berpijak pada pemikiran yang benar, tetapi kemudian berakhir dengan suatu khayalan yang hampa. Ketika ia mengatakan bahwa bahan alam semesta ini adalah swesuatu yang tidak bernyawa, tidak pula mempunyai gerakan yang timbul dari dirinya, serta harus menerima kenyataan bahwa gerakannya berasal dari kekuatan yang berada diluarnya, maka kita melihat bahwa ia telah condong pada fantasi.


Ia mengatakan bahwa gerakan benda adalah gambaran dari pertemuan dan perpisahan. Keduanya adalah suatu hal yang berlawanan yang tidak timbul dari satu kekuatan. Bahkan ia berasal dari dua kekuatan, yang satu mendorong, yang lainnya menarik. Dua kekuatan tersebut adalah cinta dan benci (l’amour et la discorde). Keempat unsur tersebut bertemu karena adanya kekuatan cinta. Lalu ia dipisahkan oleh kekuatan benci, sehingga menjadi empat unsur. Kemudian cinta mengumpulkan kekuatannya dan mulai mengadaka pemaduan antara empat unsur tersebut, sehingga terbentuklah semua yang ada dan yang kita saksikan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting