Oleh : Fulan Samwan
Judul di atas adalah tema diskusi yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar (IAD) pada salah satu pertemuan. Tema tersebut sangat menarik. Ini terlihat dari antusiasme para mahasiswa dalam mengajukan pertanyaan dan pendapat selama diskusi berlangsung. Di antara mahasiswa ada yang mempertanyakan keharusan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Karena, menurutnya, ilmu pengetahuan bersumber dari Islam, jadi tidak perlu proses Islamisasi. Mahasiswa yang lain menambahkan, sejarah membuktikan begitu banyak ilmuwan muslim yang menciptakan teori-teori ilmu pengetahuan, yang kemudian diadopsi Barat. Jadi, bukan suatu masalah jika kita menggunakan ilmu pengetahuan dari Barat. Kita hanya tinggal menjustifikasi dengan cara mencantumkan ayat-ayat Alquran dalam penemuan-penemuan ilmiah.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ilmu pengetahuan kontemporer masih bersumber dari Islam? Atau dengan kata lain, apakah Barat—yang sekarang mendominasi ilmu pengetahuan—menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber teori-teori ilmu pengetahuan yang mereka ciptakan? Selain itu, mempertanyakan keharusan Islamisasi ilmu pengetahuan secara tidak langsung mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu netral alias bebas nilai (value free). Apakah benar demikian? Atau justru sebaliknya, ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai (value laden)? Hal-hal mendasar tersebut mesti kita kaji secara mendalam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ilmu pengetahuan kontemporer masih bersumber dari Islam? Atau dengan kata lain, apakah Barat—yang sekarang mendominasi ilmu pengetahuan—menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber teori-teori ilmu pengetahuan yang mereka ciptakan? Selain itu, mempertanyakan keharusan Islamisasi ilmu pengetahuan secara tidak langsung mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu netral alias bebas nilai (value free). Apakah benar demikian? Atau justru sebaliknya, ilmu pengetahuan itu sarat dengan nilai (value laden)? Hal-hal mendasar tersebut mesti kita kaji secara mendalam.
Istilah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” bukan sesuatu yang baru. Ide ini sudah lama muncul ke permukaan, namun dengan konsep yang berbeda. Para ilmuwan muslim memandang bahwa ilmu pengetahuan modern yang dihasilkan oleh peradaban Barat tidak serta-merta harus diterapkan di dunia Muslim. Ini dikarenakan ilmu itu tidak bebas nilai (value free), akan tetapi sarat dengan nilai (value laden). Nilai-nilai yang terdapat dalam peradaban Barat begitu problematis, tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, sehingga ilmu yang dilahirkan pun menjadi problematis.
Ilmu sarat dengan nilai karena ilmu adalah produk suatu bangsa, agama, atau peradaban tertentu yang memiliki pandangan hidup (worldview) berbeda dengan yang lain. Artinya, setiap ilmu menunjukkan muatan nilai yang bersumber dari worldview suatu bangsa, agama dan peradaban.
Secara sederhana, worldview atau pandangan hidup bisa diartikan sebagai prinsip hidup atau filsafat hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang mempunyai pandangan hidup (worldview) masing-masing. Sumber pandangan hidup berasal dari beberapa faktor yang dominan dalam kehidupannya: kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai masyarakat atau lainnya. Faktor-faktor inilah yang menentukan cara pandang dan sikap manusia yang bersangkutan terhadap alam semesta dan apa yang terdapat di dalamnya. Ada yang memandangnya sebatas empiris dan terbatas pada dunia fisik, ada pula yang menjangkau dunia metafisika atau alam di luar kehidupan dunia.
Dari sini, kita mesti memahami bahwa terdapat perbedaan antara pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat. Perbedaan pandangan tersebut berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep tentang Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika dan agama sangat berbeda antara peradaban Islam dan perbedaan Barat.
Pandangan hidup Barat tidak berdasarkan pada Wahyu atau kepercayaan agama karena Barat memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan agama. Pandangan hidup yang muncul adalah pandangan hidup sekuler, sehingga ilmu yang dilahirkan pun sekuler pula. Inilah asas ilmu pengetahuan Barat.
Asas keilmuwan yang sekuler berimbas pada aspek epistemologis lainnya; sumber ilmu adalah akal dan panca indera, wahyu dinegasikan; metodologinya spekulasi; dan objeknya terbatas pada realitas empiris. Dan karena akal adalah penentu kriteria kebenaran, akibatnya ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan moral terus menerus berubah; subjektif-relatif menjadi pegangan. Pandangan hidup sekuler ini menjadi darah daging pada berbagai aliran pemikiran seperti empirisme, rasionalisme, positivisme, dan masih banyak lagi.
Dalam peradaban Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat serta menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan. Jadi, jangankan menjadikan Tuhan sebagai “Ilah”, memandang-Nya sebagai “Rabb” pun tidak sama sekali.
Sebagai contoh, teori evolusi lahir dari pandangan hidup sekuler. Menurut teori ini Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Charles Darwin, salah satu tokoh teori evolusi, berpendapat bahwa asal-mula spesies bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”. Semua spesies sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam. Contoh lain, ketika mengamati gejala-gejala alam seperti bencana, nilai-nilai agama yang memberikan pesan-pesan moral sama sekali tidak disinggung. Para ilmuwan hanya mengkajinya dari sudut pandang ilmu pengetahuan saja; bahwa alam mempunyai potensi untuk bergerak sendiri.
Selain itu, pemikir Barat memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi sumber kebahagiaan manusia dan menjanjikan dunia yang lebih baik. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan dan berakhir dengan kehancuran manusia itu sendiri.
Itulah gambaran sederhana problema ilmu pengetahuan kontemporer yang didominasi oleh Barat. Begitu banyak nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan kontemporer yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Meskipun tidak dapat dipungkiri, di satu sisi ilmu pengetahuan Barat telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain juga telah memberikan ancaman bagi kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, para ilmuwan muslim berpendapat tidak semua yang datang dari Barat mesti ditolak, dan tidak pula bersikap taken for granted. Artinya, kita mesti mengidentifikasi secara mendalam mana yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan mana yang tidak.
Lalu, bagaimana pandangan hidup Islam? Pandangan-hidup Islam (Islamic worldview) adalah visi metafisik Islami mengenai realitas dan kebenaran. Realitas dan kebenaran dalam Islam mencakup yang nampak dan yang tidak nampak (dunia-akhirat), tidak terbatas pada yang empiris. Jadi, aspek dunia dihubungkan dengan aspek akhirat sebagai final. Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Dan pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait (tauhid) seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, nilai, kebaikan dan kebahagiaan.
Dalam Islam, tujuan utama dari ilmu adalah tercapainya ma’rifatullah (mengenal Allah, Sang Pencipta), serta lahirnya manusia bertakwa yang mempunyai hubungan yang positif dengan Pencipta, pribadi, sesama, makhluk lain dan alam semesta. Ketercerabutan “makna” dan peran alam sebagai “ayat” mengakibatkan alam tak lebih dari sekedar objek, tak punya makna dan tak ada nilai spiritual.
Setelah mengetahui bagaimana pandangan hidup Islam secara garis besar, dan pandangan hidup Barat yang menyebabkan ilmu pengetahuan Barat kontemporer menjadi problematis, para ilmuwan muslim berpendapat Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan. Islamisasi ilmu pengetahuan bukan pekerjaan sederhana seperti labelisasi, dan bukan pula Arabisasi, tapi suatu pekerjaan yang mesti dilakukan dalam tataran konsep.
Terdapat pendekatan islamisasi ilmu pengetahuan yang bersifat instrumentalistik. Dari makna katanya kita sudah bisa menduga bagaimana pendekatan islamisasi ilmu pengetahuan dilakukan. Menurut pandangan ini, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri selama ia bermanfaat bagi pemakainya. Jika Barat maju karena sains dan teknologi, maka umat Islam harus menguasai keduanya. Tokohnya adalah al-Afghani, Abduh, Ridho, dan Sayyid Ahmad Khan.
Pendekatan yang populer dan banyak dikembangkan oleh ilmuwan muslim adalah justifikasi; yaitu penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Al-Quran maupun Al-Hadits. Metodologinya dengan cara mengukur kebenaran al-Qur’an dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern. Tokoh utamanya adalah Maurice Bucaille, kemudian Harun Yahya.
Sayyed Hossen Nasr menggagas konsep sakralisasi ilmu pengetahuan. Konsep ini mengarahkan sains agar mempunyai nilai sakral, karena sains modern bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Namun, sakralisasi yang dimaksud bukan Islamisasi, karena menurut pencetus pendekatan ini, pada level esoteris (transenden) semua agama sama, yang berbeda hanya pada level eksoteris (lahiriah, ibadah).
Sementara itu, islamisasi ilmu pengetahuan dilakukan Ismail R. Al-Faruqi dengan cara mengintegrasikan sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Ide integrasi ini muncul dari pemahaman bahwa terjadi dualisme dalam pendidikan di dunia Islam. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan makna dalam berbagai dimensi, sedangkan di sisi yang lain, pendidikan sekular sangat mewarnai pemikiran kaum Muslimin.
Untuk mengatasi dualisme tersebut, al-Faruqi mencetuskan ide integrasi ilmu pengetahuan, dengan metodologi meredefinisi, mengatur data-data, memikirkan ulang dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan agar sesuai dengan visi Islam.
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan adalah pendekatan paradigma/worldview Islam. Ide ini disampaikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pendekatan ini melibatkan dua proses yang saling terkait, yaitu: pertama, mengisoliir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan. Kedua, memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.
Demikianlah proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh para pakar. Saling pinjam-meminjam antara peradaban adalah wajar. Dan sejarah membuktikan bahwa bangsa yang tertinggal cenderung mengikuti bangsa yang lebih maju. Namun, hal tersebut jangan dilakukan secara taken for granted, karena setiap bangsa, agama dan peradaban mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan yang lain. Dan Islam mempunyai pandangan hidup tersendiri yang khas yang berbeda dengan agama, bangsa dan peradaban lain. Wallahu a’lam bi al-showab.
Referensi
Adnin Armas. Dewesternisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Adi Setia. Tiga Makna Sains Islam: Menuju Pengoperasionalan Islamisasi Sains. Majalah Islamia, Vol. III no.4, 2008.
Budi Hartanto. Lima Konsep Islamisasi sains.
Djamaludin Ancok & Fuat Nashori Suroso. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet.II. 1995.
Hamid Fahmi Zarkasyi. Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam. Majalah Islamia, Thn II No.5, April-Juni 2005.
Hamid Fahmi Zarkasyi. Makna Sains Islam. Majalah Islamia. Vol. III no.4, 2008.
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan adalah pendekatan paradigma/worldview Islam. Ide ini disampaikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Islamisasi ilmu pengetahuan dengan pendekatan ini melibatkan dua proses yang saling terkait, yaitu: pertama, mengisoliir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan. Kedua, memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.
Demikianlah proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang digagas oleh para pakar. Saling pinjam-meminjam antara peradaban adalah wajar. Dan sejarah membuktikan bahwa bangsa yang tertinggal cenderung mengikuti bangsa yang lebih maju. Namun, hal tersebut jangan dilakukan secara taken for granted, karena setiap bangsa, agama dan peradaban mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan yang lain. Dan Islam mempunyai pandangan hidup tersendiri yang khas yang berbeda dengan agama, bangsa dan peradaban lain. Wallahu a’lam bi al-showab.
Referensi
Adnin Armas. Dewesternisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Adi Setia. Tiga Makna Sains Islam: Menuju Pengoperasionalan Islamisasi Sains. Majalah Islamia, Vol. III no.4, 2008.
Budi Hartanto. Lima Konsep Islamisasi sains.
Djamaludin Ancok & Fuat Nashori Suroso. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet.II. 1995.
Hamid Fahmi Zarkasyi. Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam. Majalah Islamia, Thn II No.5, April-Juni 2005.
Hamid Fahmi Zarkasyi. Makna Sains Islam. Majalah Islamia. Vol. III no.4, 2008.
0 komentar:
Posting Komentar