Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna. Ia mewarisi berbagai kemampuan dari makhluk sebelumnya yaitu tumbuhan dan hewan. Ia mewarisi kemampuan untuk tumbuh (growth), makan (nutrition) dan reproduksi, itu semua kemampuan yang manusia warisi dari tumbuhan. Sedangkan kemampuan bergerak dan pengindraan (perception), itu semua kita warisi dari hewan.
Dari sini terlihat perbedaan antara hewan dan tumbuhan dalam hal atribut yang mereka miliki. Misalnya, betapapun tumbuhan takut disambar petir, ia tidak bisa lari ataupun menghindar, karena kemampuan itu tidak ia punyai. Sedangkan hewan, jika ia takut disambar petir, ia dapat lari dengan bebas. Manusia, walaupun ia hampir sama dengan hewan, tapi, Allah memberinya kelebihan yang cukup, bahkan sangat luar biasa yaitu akal.
Oleh karena itulah para filusuf menyebut manusia sebagai hayawanun natiq, hewan yang dapat berbicara –berbicara merupakan simbol dari akal. Selama yang kita tahu, bahwa manusia itu memiliki lima alat pengindraan (panca indra) yaitu lidah, mulut, telinga, indra peraba dan indra pengecap. Itulah indra-indra yang kita tahu dan kita pelajari dari mulai tingkat SD sampai sekarang. Tapi, berbeda dengan Ibnu Sina, beliau menambahkan beberapa indra lagi, antara lain:
Pertama,al-hiss al-musytarak (common sense, indra bersama), yang dimaksud indra bersama ialah lima indra yang tadi, yang mana manusia dan hewan mempunyainya.
Kedua, khayal (daya retentif), yaitu daya untuk menggambarkan data-data indrawi ke dalam ingatan.
Ketiga, wahm (daya estimattif), yaitu daya pertimbangan, dimana apabilasesuatu itu bebrbahaya, ia meninggalkannya, dan sebaliknya.
Keempat,mutakhayyilah (daya imajinatif).
Kelima, al-quwwah al-hafidzah (memori). Itulah indra-indra yang Allah berikan kepada manusia yang membedakan kita, manusia dengan makhluk lainnya.
Dari sini terlihat perbedaan antara hewan dan tumbuhan dalam hal atribut yang mereka miliki. Misalnya, betapapun tumbuhan takut disambar petir, ia tidak bisa lari ataupun menghindar, karena kemampuan itu tidak ia punyai. Sedangkan hewan, jika ia takut disambar petir, ia dapat lari dengan bebas. Manusia, walaupun ia hampir sama dengan hewan, tapi, Allah memberinya kelebihan yang cukup, bahkan sangat luar biasa yaitu akal.
Oleh karena itulah para filusuf menyebut manusia sebagai hayawanun natiq, hewan yang dapat berbicara –berbicara merupakan simbol dari akal. Selama yang kita tahu, bahwa manusia itu memiliki lima alat pengindraan (panca indra) yaitu lidah, mulut, telinga, indra peraba dan indra pengecap. Itulah indra-indra yang kita tahu dan kita pelajari dari mulai tingkat SD sampai sekarang. Tapi, berbeda dengan Ibnu Sina, beliau menambahkan beberapa indra lagi, antara lain:
Pertama,al-hiss al-musytarak (common sense, indra bersama), yang dimaksud indra bersama ialah lima indra yang tadi, yang mana manusia dan hewan mempunyainya.
Kedua, khayal (daya retentif), yaitu daya untuk menggambarkan data-data indrawi ke dalam ingatan.
Ketiga, wahm (daya estimattif), yaitu daya pertimbangan, dimana apabilasesuatu itu bebrbahaya, ia meninggalkannya, dan sebaliknya.
Keempat,mutakhayyilah (daya imajinatif).
Kelima, al-quwwah al-hafidzah (memori). Itulah indra-indra yang Allah berikan kepada manusia yang membedakan kita, manusia dengan makhluk lainnya.
Dalam kaitannya dengan judul diatas, saya akan membahas mengenai wahm (daya estimatif). Wahm dalam istilah ushul fiqih ialah ketika keyakinan dikalahkan oleh keraguan, kira-kira perbandingannya itu 75%:25%. Dalam kaitannya dengan Tuhan, kita diajari bahwa bukti adanya tuhan adalah adanya alam semesta ini seperti adanya bangku karena ada tukang kayu.
Seperti itulah guru-guru kita membuktikan kepada kita bahwa Allah itu ada dengan sebuah analogi. Tapi pernahkah terlintas bahwa tukang kayu itu tidak mengada dengan sendirinya. Apakah pernah terlintas di pikiran kita bahwa jika alam ini ada karena ada tuhan, lantas tuhan ada karena siapa? Bahkan hal seperti itu terbahas dalam hadits rosul, dan rosul memerintahkan untuk istighfar.
Tapi jika kita berhadapan dengan orang yang ingkar, apakah mereka mengerti dan mau mengucapkan istighfar? Lalu, argumen apa selanjutnya yang akan kita ajukan pada mereka supaya mereka yakin? Jujur, saya juga pernah mengalami hal seperti itu dan susah untuk memberikan bantahan selanjutnya pada mereka.
Seperti itulah guru-guru kita membuktikan kepada kita bahwa Allah itu ada dengan sebuah analogi. Tapi pernahkah terlintas bahwa tukang kayu itu tidak mengada dengan sendirinya. Apakah pernah terlintas di pikiran kita bahwa jika alam ini ada karena ada tuhan, lantas tuhan ada karena siapa? Bahkan hal seperti itu terbahas dalam hadits rosul, dan rosul memerintahkan untuk istighfar.
Tapi jika kita berhadapan dengan orang yang ingkar, apakah mereka mengerti dan mau mengucapkan istighfar? Lalu, argumen apa selanjutnya yang akan kita ajukan pada mereka supaya mereka yakin? Jujur, saya juga pernah mengalami hal seperti itu dan susah untuk memberikan bantahan selanjutnya pada mereka.
Tapi mungkin argumen-argumen ini bisa meyakinkan kita. Argumen yang menggunakan akal dalam memahami Tuhan. Arguman-arguman tersebut ialah argumen kebaruan, argumen kebolehan dan argumen desain dan penciptaan. Masing-masing argumen itu dikemukakan oleh Al-kindi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Inilah argumen-argumen mereka:
Pertama, dalil huduts (argumen kebaruan) oleh Al-kindi. Al-kindi menyatakan, bahwa alam ini betapapun luasnya, tetap ia itu terbatas. Dan yang terbatas itu tidak mungkin awalnya tidak berbatas. Jika begitu, maka yang tidak berbatas bisa diseberangi sehingga menjadi yang terbatas. Padahal dalam diktum Aristoteles yang telah diterima menyatakan bahwa yang tidak berbatas itu tidak bisa diseberangi (cannot be traversed).
Dari pernyataan itu, beliau menyimpulkan bahwa alam ini tidak azali. Ia mesti mempunyai awal. Betapapun jauhnya jika dirunut waktu terjadinya, pasti akan ditemukan –dalam ilmu sains dinyatakan bahwa ala mini tercipta sekiar 15 milyar tahun yang lalu.
Dari pernyataan itu, beliau menyimpulkan bahwa alam ini tidak azali. Ia mesti mempunyai awal. Betapapun jauhnya jika dirunut waktu terjadinya, pasti akan ditemukan –dalam ilmu sains dinyatakan bahwa ala mini tercipta sekiar 15 milyar tahun yang lalu.
Dari kesimpulan terbatasnya alam , beliau menyimpulkan lagi bahwa jika alam terbatas, maka materi juga terbatas. Dan jika materi terbatas, maka seluruh yang melekat (concomitant) padanya juga terbatas yaitu gerak. Dan jika gerak terbatas, maka waktu juga terbatas, karena waktu itu adalah efek dari gerak.
Dari sinilah beliau menyimpulkan bahwa sesuatu yang terbatas itu adalah baru (huduts). Dan yang huduts itu diciptakan dan mesti ada yang mengadakannya. Dan para filosof muslim menyimpulkan bahwa yang huduts itu mesti mempunyai fakor tertentu (murojjih)- reason de’etre dalam bahasa Leibniz- yang menyebabkan terjadinya yang huduts itu. Maka dari itu, Al-kindi menyimpulkan bahwa factor itu adalah Allah. Jikapun dirunut sebab-sebab yang ada, maka akan berhenti pada Sebab Pertama, yaitu Allah.
Kedua, dalil jawaz (dalil kebolehan) oleh Ibnu Sina. Dalil ini juga bisa disebut dalil kontingensi atau dalil ontologism, karena beliau memakai filsafat wujud. Ibnu Sina membagi wujud kedalam tiga bagian, yaitu wajibul wujud (wujud yang mesti ada), mumkinul wujud (wujud yang mungkin ada) dan mustahil wujud (wujud yang mustahil ada).
Ibnu Sina menyatakan bahwa alam ini adalah mumkinul wujud, karena ia tidak mungkin wajibul wujud, karena wajibul wujud itu tidak boleh tidak ada. Sedangkan jika alam ini mustahil wujud, itu tidak mungkin juga, karena nyatanya alam itu ada. Dalil ini awalnya tidak dapat dipahami, tapi setelah saya membaca argumen Leibniz, maka dapat dimengertilah dalil Ibnu Sina tersebut.
Ibnu Sina menyatakan bahwa alam ini adalah mumkinul wujud, karena ia tidak mungkin wajibul wujud, karena wajibul wujud itu tidak boleh tidak ada. Sedangkan jika alam ini mustahil wujud, itu tidak mungkin juga, karena nyatanya alam itu ada. Dalil ini awalnya tidak dapat dipahami, tapi setelah saya membaca argumen Leibniz, maka dapat dimengertilah dalil Ibnu Sina tersebut.
Perlu dipahami bahwa arti kata “mungkin” dalam terma Ibnu Sina adalah potensial. Alam ini potensial untuk ada dan belum mengada. Seperti perempuan potensial untuk hamil. Dan kita semua tahu bahwa perempuan itu tidak bisa hamil kalamu tidak ada yang membuatnya hamil. Jika tidak begitu, maka hal itu mustahil. Dari pernyataan itulah, Ibnu Sina berkesimpulan bahwa alam ini potensial, dan mesti ada yang aktual yang menjadikan potensial itu menjadi actual. Dan yang aktual itulah Allah.
Ketiga, dalil ‘inayah wal ikhtira (dalil desain dan penciptaan). Berbeda dengan dua dalil diatas yang notabene rasional, Ibnu Rusyd dalam dalilnya ini, ia sedikit mengutip dari al-quran. Ia berpendapat bahwa alam ini betapapun banyak materi, tetapi kenapa bisa begitu rapih dan teratur dalam gerakan mereka. Berarti mesti ada yang mengatur hal itu. Dan pengatur itulah Allah. Dengan rahmat-Nya, maka desain alam ini bisa begitu teratur dan tidak saling berbenturan.
Itulah dalil-dalil akal yang dikemukakan oleh para filosof muslim dalam memahami Allah.
0 komentar:
Posting Komentar