“Berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi politik dan kebudayaan telah menjadi rancu karena diselubungi oleh ideologi yang menguntungkan pihak tertentu…”
-Mazhab Frankfurt-
Dalam ranah filsafat ilmu, ada topik yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Topik tersebut adalah: apakah ilmu itu bebas nilai (value-free) alias netral, atau sebaliknya, ilmu itu sarat akan nilai (value-laden)? Tidak sedikit respon yang bermunculan dalam menanggapi hal ini dengan argument yang pun beragam.
Topik di atas tampaknya tidak sederhana karena setiap jawaban punya implikasi, tidak hanya dalam ranah filsafat ilmu saja. Banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh ilmu. Jadi, paham bahwa ilmu itu value-free atau ilmu itu value-laden, akan mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung (Ahmad Tafsir, 2010: 46, dan Harold Kincaid dkk., 2007: 4).
Ilmu yang dimaksud di sini adalah berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, ilmu sosial, atau ilmu humaniora. Sedangkan untuk memahami maksud kata “nilai” (value)—memperhatikan penggunannya yang beragam dan kompleks, kita bisa melihatnya dari segi makna kata dan pendapat para ahli.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1004) kata “nilai” mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.” Kata “nilai” untuk bahasa Inggris adalah “value”. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary edisi keenam (2000: 1493) kata value juga mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “beliefs about what is right and wrong and what is important in life”. (kepercayaan atau keyakinan mengenai apa yang benar dan salah, serta apa yang penting dalam kehidupan). Dua pengertian tersebutlah—sebagaimana akan dijelaskan nanti—yang sesuai dalam pembahasan ini, karena pengertian lain yang terdapat dalam dua kamus tersebut berkaitan dengan harga (uang), dan angka.
Pengertian di atas sejalan dengan yang dijelaskan oleh Harold Kincaid dkk. (2007: 10), bahwa yang dimaksud “nilai” adalah berbagai hal yang oleh individiu-individu dipandang berharga atau mesti dipromosikan, dikembangkan dan direalisasikan. Dalam pengertian ini, “nilai” tidak hanya mengenai nilai moral, etis, atau politis, tapi juga nilai epistemis.
Terdapat penjelasan yang beragam mengenai ilmu bebas nilai (value-free science),namun bukan berarti kontradiktif. Menurut Ahmad Tafsir (2010: 46), istilah ilmu bebas nilai berarti bahwa ilmu itu netral, tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Sedangkan menurut Harold Kincaid dkk. (2007: 4), maksud ilmu bebas nilai adalah bahwa suatu penyataan ilmiah (scientific claim) tidak terikat pada pandangan moral dan politik seseorang. Ini karena tugas ilmu adalah menyampaikan fakta-fakta, dan benar-salahnya pernyataan ilmiah tergantung pada bukti. Dan bebas nilai atau netral menurut F. Budi Hardiman (2003: 173) adalah tidak berprasangka, tidak memberikan penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Ilmu bebas nilai atau netral juga mengandung arti bahwa suatu teori ilmu bisa digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan untuk apa saja.
Pandangan ilmu bebas nilai merupakan ciri modernitas dan melekat pada pemikiran positivisme. Ini bukan tanpa alasan. Empirisme dan rasionalisme yang merupakan cikal bakal positivisme berusaha keras memperoleh teori yang bersifat ilmiah, teori murni. Keduanya berkeyakinan bahwa teori tersebut mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.
Kemudian lahirlah positivisme, yang merupakan puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis hidup manusia.Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta yang objektif sebagai pengetahuan yang sahih (F. Budi Hardiman, 2009: 25).
Objektif, ahistoris (tidak menyejarah), dan netral adalah di antara kriteria ilmu bebas nilai yang didambakan positivisme. Objektif berarti ilmu sesuai dengan kenyataan. Ahistoris berarti teori yang diciptakannya universal, berlaku di mana saja, dalam berbagai keadaan, dan kapan saja. Netral berarti teori adalah deskripsi murni tentang fakta atau objek, yang merupakan “pengetahuan demi pengetahuan”. Teori tidak dapat mempengaruhi atau mengubah objeknya, sedangkan objeknya adalah merupakan sesuatu yang tidak berubah, sehingga tidak mempengaruhi kegiatan untuk memperoleh teori murni.
Bagi F. Budi hardiman (2003: 173) watak-watak tersebut merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar di kalangan komunitas ilmiah, seperti sikap tak berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah bagaimanapun meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif.
Ilmu bebas nilai sepertinya sudah menjadi pandangan umum. Ini terlihat dari banyaknya teori, metodologi, dan konten/produk ilmu yang diciptakan Barat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Orang-orang dewasa ini dengan bangga menyebut sebagai “Kebudayaan ilmiah modern (Scientific Civilization)”. Hampir setiap negara dan masyarakat dewasa ini mengarahkan proses modernisasinya ke sana.
Namun seiring perjalanan waktu, pandangan ilmu bebas nilai tidak lepas dari kritik. Hal tersebut terjadi terutama setelah terjadi Perang Dunia I dan II. Ini dilihat dari sisi aksiologis ilmu, bahwa ternyata ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka.
Dengan berpijak pada objektivitas dan netralitas ilmu maka penguasaan alam atas nama ilmu pengetahuan mutlak menjadi sebuah keharusan. Pada gilirannya adalah penguasaan manusia lain atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia lainnya.
Di Jerman, lahir Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang merupakan kontra positivisme dan menolak pandangan ilmu bebas nilai. Menurut mazhab ini, di belakang selubung objektivitas ilmu-ilmu, tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan (Asep Ahmad Hidayat, 2009: 207). Salah satu pendiri Teori Kritis, Herbert Marcuse, menyoroti bagaimana rasionalitas modernitas berfungsi sebagai ideologi dan dominasi. Ia juga menegaskan bahwa cara berpikir para ilmuwan masyarakat modern telah membeku menjadi ideologi dan mitos (F. Budi Hardiman, 2009: 73). Menjadi ideologis karena penganut positivisme mengklaim bahwa hanya metodenya-lah yang memungkinkan kebenaran objektif tentang fakta.
Pakar yang lain, Gerald Doppelt (dalam Harold Kincaid dkk., 2007: 189-191) menyatakan bahwa komitmen nilai dan kepentingan praktis yang dimiliki manusia memberikan pengaruh pada praktek-praktek keilmuan, tidak hanya epistemis tapi juga non-epistemis. Dalam ranah epistemis, komitmen nilai dan kepentingan bisa menentukan pengetahuan yang kita cari; motif dalam mempraktekkan ilmu; konsep, metode, atau hipotesis yang digunakan; pertanyaan dan problema tertentu yang dipecahkan; dan dalam hal apa kegunaan ilmu pengetahuan diterapkan. Dan dalam ranah non-epistemis, komitmen nilai dan kepentingan menentukan tujuan pencarian bantuan dana keilmuwan atau dukungan, raihan penghargaan atau pengakuan bagi karya ilmiah, pembagian tugas keilmuan, lembaga yang membangun kerja ilmiah, pendidikan dan latihan para ilmuwan, dan komposisi komunitas ilmiah yang bersifat golongan, kesukuan, etnis, gender dan agama.
Pengaruh nilai dalam ranah epistemis juga dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (2010: 47). Dan tidak hanya itu, nilai juga akan menentukan dalam ranah ontologis dan aksiologis. Dalam pandangannya, nilai akan menentukan dalam:
1) memilih objek penelitian,
2) cara meneliti, dan
3) menggunakan hasil penelitian.
Masih dalam ranah epistemis, Hamid Fahmi Zarkasyi (2005) berpandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai, justru sebaliknya, yaitu sarat akan nilai. Pandangannya bertolak dari konsep worldview (pandangan dunia). Menurutnya, ilmu dalam tradisi manapun tidak lahir secara tiba-tiba. Fondasi bagi lahirnya suatu disiplin ilmu adalah worldview yang memiliki konsep-konsep keilmuan. Worldview ilmiah ini kemudian menghasilkan tradisi intelektual (tradisi ilmiah) dalam masyarakat dan selanjutnya lahirlah disiplin ilmu.
Sedikitnya terdapat lima bagian penting struktur worldview, yaitu struktur:
1) tentang kehidupan,
2) tentang dunia,
3) tentang manusia,
4) tentang nilai, dan
5) tentang pengetahuan.
Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan pengetahuan akan melahirkan struktur nilai, di mana konsep-konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang, maka strutktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.
Meskipun proses akumulasi kelima struktur di atas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan, tapi yang perlu dicatat bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konseptual dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berpikir kita. Di sini, dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan seseorang dengan worldview tertentu akan merupakan refleksi dari struktur-struktur worldview di atas. Inilah alasan mengapa ilmu tidak bebas nilai.
Dari penjelasan di atas, barangkali kita bisa memahami apa yang terkandung di balik ilmu. Kita hidup dalam suatu komunitas tertentu. Komunitas bukanlah suatu ruangan yang hampa. Tapi di dalamnya terdapat adat istiadat, nilai, kepercayaan, yang akan membentuk cara pandang; cara kita memaknai hidup, dunia, manusia, dan menentukan cara kita berbuat sesuatu. Sebagai penutup, saya kutip pernyataan Gerald Doppelt (dalam Harold Kincaid dkk., 2007: 189), berikut ini:
“If and when we recognize all these ways that groups’ interests andvalues typically shape the practices of science, the whole game seems tobe over for many scholars: value-free science is an illusion, end of story!” (189)
REFERENSI
Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Kincaid, Harold dkk. (ed). 2007. Value-free science?. Oxford: Oxford University Press.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. 2006. 6th edition. Oxford: Oxford University Press.
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya.
0 komentar:
Posting Komentar