Filsafat yang merupakan ilmu pertama, yang mana esensinya itu adalah pencarian Tuhan, mempunyai beberapa cabang, diantaranya epistemologi (teori ilmu pengetahuan), ontologi (filsafat wujud) dan aksiologi (filsafat nilai) –termasuk di dalamnya etika dan estetika (keindahan). Mengenai epistemologi, filosof barat maupun filosof muslim menerima cabang filsafat ini, tentunya dengan perbedaan yang fundamental.
Di satu sisi, epistemologi barat hanya menggunakan metode observasi, di sisi lain, epistemologi timur tengah (muslim), memiliki 3 metode, yaitu bayani (observasi), burhani (demonstratif, logis) dan ‘irfani (intuitif), yang masing-masingnya bersumber pada indra, akal dan hati. Sementara mengenai ontology, cenderung, kebanyakan para filosof barat menolak akan cabang filsafat yang satu ini, karena mungkin berkaitan dengan epistemologi mereka yang hanya mengacu pada observasi, mengacu pada data indrawi. Secara tidak langsung, mereka sudah menolak “entitas-entitas” alam ghaib, dan tidak percaya adanya tuhan, malaikat, jin, bahkan mungkin alam semesta diluar sana –jika mereka belum melihatnya secara langsung, dan pasti kita ingat pada kisah Bani Israil yan ingin melihat Allah jahroh (secara langsung). Itulah mungkin pembukaan dalam mendefinisikan dua cabang filsafat.
Di satu sisi, epistemologi barat hanya menggunakan metode observasi, di sisi lain, epistemologi timur tengah (muslim), memiliki 3 metode, yaitu bayani (observasi), burhani (demonstratif, logis) dan ‘irfani (intuitif), yang masing-masingnya bersumber pada indra, akal dan hati. Sementara mengenai ontology, cenderung, kebanyakan para filosof barat menolak akan cabang filsafat yang satu ini, karena mungkin berkaitan dengan epistemologi mereka yang hanya mengacu pada observasi, mengacu pada data indrawi. Secara tidak langsung, mereka sudah menolak “entitas-entitas” alam ghaib, dan tidak percaya adanya tuhan, malaikat, jin, bahkan mungkin alam semesta diluar sana –jika mereka belum melihatnya secara langsung, dan pasti kita ingat pada kisah Bani Israil yan ingin melihat Allah jahroh (secara langsung). Itulah mungkin pembukaan dalam mendefinisikan dua cabang filsafat.
Kembali pada judul diatas (Seputar Kebahagiaan), yang akan saya bahas disini adalah cabang filsafat yang lain dari dua cabang diatas, yaitu aksiologi (filsafat nilai), terutama mengenai etika. Etika, sedekat yang saya tahu, merupakan The Art of Living (Seni Hidup). Etika mengajarkan kita bagaimana kita hidup, bagaimana kita meraih kebahagiaan, bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan, masyarakat, bahkan Tuhan sekalipun –yang nantinya akan melahirkan konsep etika terapan, etika normative, dan metaetika. Dan bagaimanapun rumitnya pembahasan etika, tiada lain tujuannya adalah bagaimana kebahagiaan itu kita dapatkan, ini tercermin dalam kitab-kitab etika klasik diantaranya, Tahshil as-Sa’adah (Menggapai Kebahagiaan) karya Al-Farabi, As-Sa’adah wal Is’ad (Kebahagiaan dan Membuat Kita Bahagia) karya Al-‘Amiri –walaupun secara langsung, saya belum pernah membaca kitab-kitab tersebut.
Salah satu pembahasan dalam kitab-kitab klasik itu adalah dperkenalkannya jenjang-jenjang kebahagiaan, sebagaimana tercermin dalam salah satu kitab etika karya Ibnu Miskawaih yang berjudul Tartib as-Sa’adah. Setidaknya, disana disebutkan bahwa kebahagiaan itu mempunyai lima jenjang. Dan inilah yang perlu kita syukuri, bahwa Allah memberi kita kebahagiaan tidak Cuma satu saja, tapi lebih dari itu. Hal ini semua tercermin dalam firman-Nya: “Jika engkau hendak menghitung ni’mat Allah, pastilah engkau tidak akan bisa menghitungnya………..”
Jenjang pertama dari kebahagiaan, adalah kebahagiaan fisik atau sensual, kebahagiaan yang kita semua tahu. Kebahagiaan jenis ini, sering dipandang orang sebagai kebahagiaan satu-satunya, contohnya saja dengan keluarnya ucapan “kalau sudah kaya sih pasti kita bahagia”, dan yang dimaksud kaya disini yaitu kaya harta atau material. Dan kebahagiaan ini tentunya merupakan karunia terbesar dari Allah, karena dengan kabahagiaan ini yang menopang kebahagiaan-kebahagiaan lainnya. Aristoteles pun berkata bahwa tanpa terpenuhinya kebahagiaan dasar material ini, tidak bisa dibayangkan terjadinya kebahagiaan lainnya. Dan itu hal yang dapat dibenarkan, karena dengan kita makan, minum tempat tinggal dan pakaian untuk kelangsungan hidup dan merupakan penopang kita untuk mencapai kebahagiaan lainnya, contohnya saja ibadah kepada Allah. Hal ini tercermin dalam sabda Rosul: “Orang yang berakal itu, makan untuk hidup, sedangkan orang yang bodoh itu, hidup untuk makan.” Dan sepengetahuanku, tidak ada satu agamapun yang melarang umatnya untuk mencari kebahagiaan yang satu ini, dengan syarat cara dan zatnya didapat dengan halal.
Tapi perlu diingat bahwa kebahagiaan ini tidaklah abadi –karena memeng tidak ada yang abadi- dan harta itu tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Diperlukan syarat-syarat lain yagn akan membuat harta itu bisa membahagiakan. Para filosof sering mengingatkan akan bahaya dari sikap berlebih-lebihan dalam harta atau materikarena bisa membuat kita lalai (ghoflah) itulah sebabnya mereka merumuskan cara hidup filosofis (the philosophical ways of life) yang sangat menekankan kesederhanaan. Diceritakan bahwa Al-Farabi hidup sangat sederhana bahkan bersahaja, baik dalam soal berpakaian maupun makanan sekalipun sebenarnya ia tinggal di istana Saif Ad-Daulah, Aleppo, Suriah.
Selain bahwa kesenangan dunia itu membuat kita lalai, ia juga bersifat sementara. Misalnya, para filosof mencontohkan “kesenangan makan”. Menurut mereka kesenangan makan itu ada karena ketergantungannya pada yang dinamakan penyakit lapar. Jika penyakit lapar itu sudah terpenuhi, maka hilanglah kesenangan makan itu. Betapapun enaknya makanan itu, gurihnya makanan itu dan mahalnya makanan itu, jika rasa lapar sudah terpenuhi, itu semua tidak akan membuat kita bahagia, malah sebaliknya. Maka dari itu, kita harus mencontoh Roosul yang bersikap moderat dalam hal makan dan minum.
Jenjang kedua dari kebahagiaan ialah kebahagiaan mental, kebahagiaan yang mungkin masih mempunyai kaitan dengan indra lahir, tapi utamanya dengan indra batin. Selain merasa senag dengan makanan dan minuman, manusia juga merasa senag dengan lukisan dan nyanyian, walaupun jelas mereka tidak memakan atau meminumnya. Berkhayal tentang sesuatu yang indah bisa membuat kita bahagia atau menimbulkan kebahagiaan diri seseorang.demikian juga mewujudkan buah khayalan kedalam bentuk bangunan, lukisan atau nyanyian. Itu semua bisa menimbulkan kebahagiaan tersendiri bagi penciptanya. Bukankah kita sering aau pernah mendengar bahwa seorang pelukis, komposer, ataupun pengarang lagu yang sedang berkarya sering lupa makan dan minum? Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan jenjang ini tidak kalah hebatnya dengan kebahagiaan fisik, bahkan bisa mengalahkannya.
Jenjang ketiga dari kebahagiaan adalah kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan intelektual adalah kebahagiaan yang paling tinggi menurut Aristoteles. Al-quran pernah bertanya “Apakah sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?” apakah perlu dijawab pertanyaan demikian? Tidak. Dalam ilu balaghah, itu termasuk istifham inkari, pertanyaan yang tidak perlu dijawab, karena hal ini sudah terpatri dalam otak kita bahwa hal demikian itu jelas berbeda, layaknya orang melek dan orang buta. Bayangkan, anda berjalan sendiri di negeri asing, sedangkan hari telah gelap gulita. Tidak ada seberkas cahaya apapun, tidak ada satu rumahpun untuk kita bertanya. Itulah ibarat dari orang yang tidak berilmu, gelap tidak ada cahaya, tidak ada petunjuk. Sedangkan orang yang berilmu adalah orang yang berjalan ditempat yang terang karena mendapat cahaya yang berlimpah dari matahari. Itulah perumpamaan ilmu, bukankah Rosul bersabda bahwa ilmu itu cahaya? Dan kebahagiaan inipun bisa mengalahkan kebahagiaan sebelumnya
Jenjang keempat dari kebahagiaan adalah kebahagiaan moral. Dan kebahagiaan ini adalah merupakan kebahagiaan penerus bagi kebahagiaan intelektual. Al-Farabi pernah mengatakan bahwa kesempurnaan kebahagiaan akan tercapai apabila seseorang telah mampu menerapkan pengetahuan teoritisnya ke dalam praktik hidupnya sehari-hari. Dan kebahagiaan yang diperolah dari mengamalkan ilmu, inilah yang dimaksud kebahagiaan moral. Suatu kebahagiaan yang lebih tinggi dibanding kebahagiaan intelektual, sekalipun kebahagiaan intelektual itu merupakan kebahagiaan tertinggi menurut Aristoteles. Nabi kita telah menggambarkan bahwa ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan lanjutan dari adanya ilmu itu adalah penerapan, pengamalan. Bukankah jika seorang petani menanam pohon, yang ditunggu-tunggunya itu adalah buah dari pohon tersebut? Bayangkan jika pohon itu tidak berbuah, bagaimanakah reaksi si petani itu? Apakah senang? TIDAK.
Dan kenapa zaman sekarang orang -boleh dikata ustad, mereka menyerukan kebenaran, amar ma’ruf nahyi munkar, tapi untuk dirinya sendiri, ia tidak menerapkan hal itu. Dan sepertinya mereka tidak menyadari hal itu atau malah menyadari, tapi malah bersikap acuh tak acuh? Mengapa mereka tidak meniru sikap pak tani saja yang bila pohonnya tidak berbuah, mereka bersedih dan berusaha menanam pohon itu lagi dengan harapan pohon tersebut akan berbuah? Bukankah inti dari ketakwaan itu adalah pengamalan ilu yang kita punya? Tentunya pertanyaan tersebut kembali lagi pada kita, khususnya saya.
Dan kenapa zaman sekarang orang -boleh dikata ustad, mereka menyerukan kebenaran, amar ma’ruf nahyi munkar, tapi untuk dirinya sendiri, ia tidak menerapkan hal itu. Dan sepertinya mereka tidak menyadari hal itu atau malah menyadari, tapi malah bersikap acuh tak acuh? Mengapa mereka tidak meniru sikap pak tani saja yang bila pohonnya tidak berbuah, mereka bersedih dan berusaha menanam pohon itu lagi dengan harapan pohon tersebut akan berbuah? Bukankah inti dari ketakwaan itu adalah pengamalan ilu yang kita punya? Tentunya pertanyaan tersebut kembali lagi pada kita, khususnya saya.
Kembali kepada pembahasan kebahagiaan moral, orang baik adalah orang yang memiliki perilaku baik dan bukan hanya mengetahui bahwa perilaku terpuji itu baik. Menurutku, orang bijak adalah mereka yang bukan hanya mengetahui jalan itu baik, tetapi juga menjalani hidup yang baik tersebut. Namun, apakah kebahagiaan moral adalah jenjang kebahagiaan tertinggi? Bagi Ibnu Miskawaih ternyata tidak. Menurutnya orang yang baik secara moral adalah ia yang akanmendapat kebahagiaan yang besar, tetapi barangkali tidak kebahagiaan yang tertinggi yaitu kebahagiaan spiritual.
Kebahagiaan spiritual adalah jenjang kabahagiaan tertinggi menurut Ibnu Miskawaih. Jika ada orang bertanya “Kalau sholat itu bertujuan untuk mencegah perbuatan keji dan munkar, apakah kita masih perlu sholat jika kita sudah mempunyai moral yang baik?” jawabannya ialah ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi. Mengapa harus berhenti sholat jika kita sudah mempunyai moral yang baik? Apakah cukup dengan moral yang baik lantas kita bisa berinteraksi dengan Pencipta kita? Kebahagiaan spiritual, yang menurut Ibnu Miskawaih hanya bisa dicapai ketika kita berhasil melakukan kontak dengan yang ilahi. Oleh karena kontak itu hanya bisa dicapai lewat pengabdian (ibadah), kebahagiaan moral saja tidak akan membawa kita pada kebahagiaan tertinggi. Allah adalah tempat kembali kita. Berada dekat atau mengadakan kontak dengan-Nya merupakan tujuan terakhir dari setiap manusia. Contohnya saja ketika kita sholat, sholat adalah sarana kita untuk lebih dekat dan berinteraksi dengan-Nya, apalagi ketika kita bersujud, Rosul bersabda: “keadaan yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya yaitu ketika ia bersujud, maka perbanyaklah berdo’a” sudah jelas, bahwa inilah jenjang kebahagiaan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, tapi tidak semua manusia bisa mencapai jenjang ini. Maka patutlah untuk kita berusaha mencapai jenjang kebahagiaan ini, karena kebahagiaan inilah yang pernah Allah karuniakan kepada manusia.
“Dan jika kamu hendak menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan dapat menghinggakannya” (Ibrahim:34) –dengan memakai ta’ maftuhah-
“Dan jika kamu hendak menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan dapat menghinggakannya” (An-Nahl:18) –dengan memakai ta’ marbuthah-
1 komentar:
nice posting gaaaan! :P
Posting Komentar