oleh : Yoga ZaraAndrtitra
jean paul satre |
Dalam
artikel ini penulis akan mengangkat tema eksistensialisme, khususnya
eksistensialisme Sartre. Tema inilah yang dapat penulis sajikan. Ini tidak
terlepas dari kurangnya referensi mengenai tema yang sesungguhnya penulis ingin
angkat yaitu kritisismenya Imanuel Kant. Karena hal itulah penulis urungkan
niat untuk memenuhi tugas kuliah Filsafat aliran dengan tema kritisisme Kant.
Tapi bukan berarti diangkatnya tema eksistensialisme Sartre mencirikan bahwa
penulis sudah sangat lengkap referensi tentang eksistensialisme tapi pas-pasan. Pas-pasan karena penulis merasa bahwa bahan-bahan yang ada sudah dipandang
cukup untuk memenuhi kriteria penyusunan artikel filsafat, yaitu terangkumnya
analisis mengenai ontology, epistemology, dan aksiologi dari pemikiran tokoh
aliran filsafat tertentu.
Meskipun
begitu penulis akan berusaha sajikan secara maksimal tema yang akan sedikit
diulas ini. Eksistensialisme juga sepanjang yang penulis amati ternyata amat
mengena terhadap jiwa beberapa mahasiswa UIN. Mereka ini teman saya juga. Berdasarkan
yang penulis amati mereka rata-rata sangat faseh dan hapal istilah-istilah yang
digunakan kaum eksistensialis bahkan mereka mentasbihkan diri sebagai pengikut
aliran eksistensialis. Kata-kata yang sangat lumrah terucap dari mulut mereka
ialah,”bebas we jeung say amah”/ “abdi
mah jalmi bebas”. Itulah kata-kata yang biasa mereka ucapkan dalam
berkomunikasi. Fenomena seperti ini kiranya kita bisa gali dari ajaran yang
mereka yakini. Seperti apakah eksistensialisme itu?menjadi tanda tanya besar
bagi penulis saat mulai dikenalkan dengan wacana-wacana asing seperti itu.
Penulis sempat bertanya beberapa isi dari pemikiran salah satu tokoh
eksistensialisme pada seorang teman satu jurusan yang dipandang kompeten, membaca
buku-buku yang mengulas tentang eksistensialisme dan lain sebagainya. Sehingga
akhirnya kini penulis memiliki sedikit kepahaman tentang tema yang digandrungi
oleh beberapa teman penulis. Dan kiranya penulis akan sajikan dalam artikel
ini.
Riwayat Hidup Sartre
JEAN-PAULSARTE lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. ayahnya adalah perwira angkatan
laut Prancis dan Ibunya Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan anak
satu-satunya Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Zerman didaerah
Alsace .
Ayahnya meninggal dua tahun setelah kelahiran Sartre dan Ibu bersama anaknya
pulang kerumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun
mereka pindah ke Paris .
Charles
Schweitzer, memegang peranan besar sekali dalam membesarkan Sartre dan
mengembangkan bakatnya sebagai pengarang. Kakek itu sebenarnya beragama Kristen
Protestan, tetapi ia menyetujui bahwa anak-anaknya dididik dalam agama
istrinya, Louise Guillemin, yaitu agama Kristen Katolik Sartre juga dibaptis
dan dibesarkan secara Katolik.
Sampai umur sepuluh tahun empat
bulan anak yang sangat pandai itu diberi pengajaran di rumah. Selama itu ia
hidup ditengah-tengah orang dewasa, tanpa adik, tanpa teman sebaya. Dunianya
adalah perpustakaan kakeknya. Dapat dimengerti bahwa dengan masuk sekolah suatu
dunia sama sekali baru terbuka bagi dia. Ia diterima di lycee Henri IV di Paris,
tetapi tahun berikut ibunya menikah lagi dan mereka pindah lagi ke La Rochelle . Sesudah
beberapa tahun ia disekolahkan lagi di Paris, yaitu Lycee Louis-le-Grand. Pada tahun 1924 ia sempat masuk di Ecole Normale Superieure, perguruan
tinggi ini yang paling selektif dan paling terkemuka di Prancis. Untuk ujian Agregation ia satu kali jatuh tetapi
tahun berikutnya, tahun 1929, ia berhasil meraih Agregation de philosophie sebagai nomer satu.
Sekitar tahun 1929 Sartre berkenalan
dengan Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat di Universitas Sorbonne.
Pertemuan itu menjadi titik tolak persahabatan akrab sepanjang hidup mereka. Tetapi
mereka menolak untuk menikah, sebab perkawinan oleh mereka, kata Simone de
Beauvoir, dianggap sebagai suatu lembaga borjuis saja.
Sebagai mahasiswa dan guru muda
Sartre termasuk golongan
intelektual berhaluan kiri. Objek
kritiknya terutama kaum borjuis dengan norma-norma dan tradisinya. Dibidang
filsafat, Sartre dan kawan-kawannya menyerang idealisme dan setiap pemujaan
terhadap “hidup batin”. Mereka mengkritik professor-profesor mereka di
Universitas yang berpretensi dapat mencapai perubahan-perubahan kemasyarakatan
hanya dengan ide-ide atau koreksi terhadap ide-ide. Kritik ini tentu
dipengaruhi pengalaman sekitar Perang Dunia I dan Revolusi di Rusia. Di
kemudian hari ia akan mengatakan bahwa pada waktu itu ia belum menyadari bahwa
filsafat yang dicarinnya sebenarnya sudah ada, yaitu Marxisme. Ia memang
membaca beberapa karya Karl Marx, tetapi diakuinya kemudian belum masuk
sungguh-sungguh kedalam alam pikiran ini.
Sejak tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru
filsafat di Lycee, berturut-turut di Le Havre ,
Laon dan Paris .
Pada waktu itu ia mulai berkenalan dengan fenomenologi Husrel dan tahun
1933-1934 ia mendapat kesempatan untuk mempelajari lebih mendalam aliran
filsafat ini pada “Lembaga Prancis” di Berlin .
Dalam periode yang sama Sartre memulai
kariernya sebagai Sastrawan. Salah satu karya sastra yang penting ialah
novelnya yang pertama berjudul La Nausee
(1938). Disini dengan lebih jelas kita menemui sejumlah tema yang akan kembali
dalam filsafanya nanti. Ia juga mulai terjun dalam kritik kesenian. Pelbagai majalah
memuat karangan-karangannya tentang kesustraan maupun seni rupa.
Setelah studinya selesai Sastre
sudah memenuhi wajib militer (1929-1931). Ketika Perang Dunia II pecah, ia
dipanggil lagi masuk ketentaraan. Karena tugasnya pada dinas meteorology, ia
mempunyai waktu luang untuk membaca dan menulis. Dari Juni 1940-April 1941 ia
ditahan di Zerman sebagi tahanan perang. Dalam tahanan ia menulis dan
menyutradarai sebuah drama yang mengisahkan peristiwa natal, tetapi sebenarnya
mengecam pendudukan Palestina oleh tentara Roma. Bagi penonton budiman cukup
jelas bahwa apa yang dimaksudnya sesungguhnya pendudukan Prancis oleh tentara
Zerman. Pengalaman ini membuka mata Sartre bagi drama sebagai media ekspresi.
Pada tahun 1964 Sastre dipilih
sebagai pemenang hadiah nobel bagian kesusastraan. tetapi ia menolak, dengan itu
ia menolak keuntungan financial yang tidak sedikit. Menrima hadiah itu demikian
pendapatnya akan mengurangi kebebasannya, karena dengan itu ia dimasukan
kedalam golongan tertentu, yaitu golongan borjuis atau kapitalis. Kegiatannya
sebagai pengarang akan dibekukan. Karena alasan yang sama katanya ia akan
menolak juga hadiah Lenin, seandainya diberikan oleh Uni Soviet. Selaku
pengarang ia ingin tetap mempertahankan posisinya yang independen ditengah
blok-blok social politik yang ada pada waktu itu.
Pada tahun 1966 ia mengambil bagian
dalam International Tribunal against war
crimes in Vietnam
yang telah didirikan oleh filsuf inggris tersohor yaitu Bertrand Russell.
Maksud lembaga pengadilan itu adalah menyelidiki kejahatan-kejahatan perang
yang dilakukan Amerika di Vietnam dengan menggunakan norma-norma yang sama yang
telah diciptakan oleh Negara-negara demokratis untuk menyelidiki
kejahatan-kejahatan perang Nazi Zerman dalam pengadilan Nuremberg pada tahun
1946.
Ketika revolusi mahasiswa pecah di
Paris pada bulan Mei 1968, Sartre mengikuti peristiwa-peristiwa besar yang
berlangsung penuh perhatian besar dan turut mengecam tindakan-tindakan polisi
Prancis yang dinilai terlalu kejam.
Beberapa tahun kemudian(1973) ia
mengambil inisiatif untuk menerbitkan surat
kabar baru. Bersama dengan suatu staf yang yang terdiri dari orang-orang
berhaluan kiri, ia mulai menerbitan harian (non-kapitalistis, katanya) yang
akan memperjuangkan kepentingan kaum buruh. Nama yang dipilih ialah liberation(pembebasan). Surat kabar ini tidak memuat iklan, yang
dianggapnya sebagai kebiasaan kapitalistis. Dan semua karyawan mendapat gaji
yang sama: dari montir mesin sampai dengan dewan redaksi. Tetapi karena
kesulitan-kesulitan financial harian ini sering merana dan beberapa kali harus
berhenti sementara.
Ketika ia mencapai usia 70 tahun
(1975), kejadian itu diperingati oleh banyak majalah dan media lainnya. Suatu
wawancara panjang dengan Sartre disajikan oleh majalah le nouvel observateur. Ia mengakui bahwa sejak dua tahun ia
mengidap pelbagai penyakit. Kakinya merasa sakit jika berjalan lebih dari 1
kilometer, dan yang paling berat, matanya semakin kabur hingga hampir
buta.membaca dan menulis tidak mungkin lagi: “kegiatan saya sebagai pengarang
sudah musnah sama sekali”. Perayaan hari ulang tahun ke-70 itu menjadi semacam
pamitan umum. Ia meninggal lima
tahun kemudian tanggal 15 April 1980, sesudah sebulan dirawat di Rumah
Sakit.
0 komentar:
Posting Komentar