oleh : Yoga ZaraAndritra
Berangkat dari kesepakatan lalu, tepatnya hari rabu tanggal 28 juli 2010, saya dan saudara Rais sebagai sesama mahasiswa Aqidah Filsafat akan coba saling memaparkan pemahamannya perihal pembagian sejarah menurut Hegel, yang dijadwalkan pada hari sabtu tanggal 31 Juli 2010, pukul tiga sore. Sebut saja ini semacam sharing pemahaman perihal konsep yang sama-sama kami baca.
Dalam tulisan ini, saya bukan hendak memperbincangkan dialektika Hegel atau pun memperbincangkan apa itu diskusi. Yang ingin saya sampaikan adalah jenis-jenis sejarah menurut Hegel. Mengingat Hegel sendiri besar perhatiannya pada kajian sejarah. Ia sendiri menulis buku berjudul Filsafat Sejarah (Rechtsphilosophie), yang di dalam bukunya banyak orang berpendapat bahwa Hegel tidak sedang menulis sejarah melainkan sedang menulis filsafat. Sejarah itu sendiri dalam perspektif Hegel tidak bisa lepas dari apa yang ia namakan Yang Absolut ( atau “Roh”, “Idea”, “Rasio”) sebagai pondasi dasar sistem filsafatnya.
Jenis-jenis Sejarah
Sejauh tangkapan saya yang sederhana dalam buku Filsafat Sejarah karya Hegel ( Terjemahan, Cuk Ananta Wijaya ), sejarah dalam pandangan Hegel dibagi menjadi tiga. Yaitu:
- Sejarah Asli,
- Sejarah Reflektif,
- dan Sejarah Filsafati.
Mengenai jenis yang pertama, penyebutan salah satu atau dua nama yang terkenal akan memberikan warna yang khas. Kategori ini diberikan oleh Herodotus, Thucydides, dan para sejarawan lain yang memiliki orde yang sama, yang pemaparannya sebagian besar terbatas pada perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan dihadapan mereka, dan mereka turut ambil bagian di dalam semangatnya. Mereka secara sederhana memindahkan apa yang berlangsung di dunia sekitar mereka, kawasan intelek representative, Sebuah fenomenon lahir, dengan demikian, diterjemahkan menjadi sebuah konsepsi batin. Dengan cara yang sama, penyair bekerja dengan bahan yang diberikan kepadanya oleh perasaannya; memproyeksikannya menjadi sebuah citra tentang kemampuan konseptif. Adalah benar, para sejarawan asli menemukan pernyataan dan cerita tentang orang lain yang ada di tangan. Orang tidak dapat menjadi saksi nyata atau pun telinga atas segala sesuatu. Namun mereka mendapatkan bantuan seperti itu hanya sebagai penyair karena warisan bahasa yang telah terbentuk, dengan itu ia mendapatkan banyak; semata-mata hanya sebagai bahan. Para sejarawan merangkai unsure-unsur cerita yang cepat berlalu dan menyimpannya untuk diabadikan di dalam kuil Mnemosyne.
¨ Legenda, cerita balada, tradisi harus disingkirkan dari Sejarah Asli ¨ Ini tidak lain merupakan bentuk pemahaman sejarah yang samar dan tidak jelas, karenanya menjadi milik bangsa yang baru bangun kecerdasannya. Sebaliknya, di sini kita harus berhubungan dengan bangsa yang sepenuhnya sadar terhadap apa yang mereka miliki dan apa yang mereka dambakan. Kawasan realitas—yang nyata-nyata terlihat, atau yang dapat dilihat—memberikan dasar yang sangat berbeda dalam hal ketegasan dengan unsur yang lekas hilang dan bersifat khayal, di situ dilahirkan legenda dan mimpi puitis yang kehilangan nilai historisnya, segera sesudah bangsa tersebut mencapai kematangan individualitasnya. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:1-2)
Para Sejarawan Asli tersebut kemudian mengubah peristiwa, perbuatan dan keadaan masyarakat yang mereka kenal menjadi sebuah objek kemampuan konseptif. Oleh karena itu, cerita yang mereka tinggalkan kepada kita tidak dapat terpahami sepenuhnya. Herodotus, Thucydides, Guicciardini dapat dikelompokan sebagai contoh golongan ini. Apa yang hadir dan hidup di lingkungan mereka adalah bahan yang tepat. Berbagai pengaruh yang membentuk penulis identik dengan yang membentuk peristiwa yang merupakan materi ceritanya. Semangat pengarang, dan berbagai perbuatan yang dia ceritakan, adalah satu dan sama.
Dia memaparkan kancah tempat dia sendiri menjadi salah seorang pelakunya atau, sampai tingkat tertentu, menjadi seorang penonton yang penuh perhatian. Adalah periode waktu yang pendek, berbagai bentuk persona dan kejadian individual, tunggal, sifat yang tidak terlukiskan, dari situlah dia menciptakan gambarnya. Dan tujuannya tidak lain daripada penyajian keturunan (posterity) sebuah cerita peristiwa yang sama jelasnya dengan yang dimilikinya sendiri berdasarkan observasi pribadi, atau deskrifsi yang sehidup mungkin. Permenungan bukan merupakan urusannya, karena dia hidup dalam ruh subjek. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:2-3 )
Dia memaparkan kancah tempat dia sendiri menjadi salah seorang pelakunya atau, sampai tingkat tertentu, menjadi seorang penonton yang penuh perhatian. Adalah periode waktu yang pendek, berbagai bentuk persona dan kejadian individual, tunggal, sifat yang tidak terlukiskan, dari situlah dia menciptakan gambarnya. Dan tujuannya tidak lain daripada penyajian keturunan (posterity) sebuah cerita peristiwa yang sama jelasnya dengan yang dimilikinya sendiri berdasarkan observasi pribadi, atau deskrifsi yang sehidup mungkin. Permenungan bukan merupakan urusannya, karena dia hidup dalam ruh subjek. ( J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:2-3 )
Dalam Sejarah Asli, unsur yang sifatnya khayali seperti halnya legenda harus disingkirkan. Sejarah jenis ini mendasarkan dirinya pada sepenuhnya fakta yang terjadi di sekitar penulis sejarah. Dan penulis sejarah itu sendiri berada di dalam sejarah yang ia tulis sendiri, baik sebagai pelaku sejarah maupun penonton yang penuh perhatian. Itulah sejarah yang hidup dalam ruh subjek jauh dari ketinggian ruh absolut.
Sejarah jenis kedua, disebut sebagai Sejarah Reflektif. Sejarah ini pun terbagi lagi menjadi empat jenis. Namun, berbeda dengan jenis Sejarah Asli, Sejarah Reflektif oleh Hegel diberi pengertian sebagai sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya ia berhubungan, melainkan yang ruhnya melampaui masa kini. Jika dalam Sejarah Asli seorang penulis sejarah berada di dalam sejarah yang ia tulis, sama-sama berada dalam ruh zaman yang ditulisnya, maka Sejarah Reflektif tidak seperti itu. Seorang penulis sejarah jenis kedua ini tidak terbatasi oleh waktu, tempat dan kebudayaan, ia bisa saja menyajikan sejarah suatu zaman berbeda dengan Ruh dirinya sebagai penulis.
Ada Sejarah Reflektif yang sifatnya pragmatis. Sejarah jenis ini ditulis untuk diambil manfaatnya. Seperti model sejarah yang ditulis oleh Johannes v. Muller yaitu Sejarah Swiss yang Nampak memiliki tujuan moral. Dia menulis sejarah itu, bermaksud menyiapkan satu badan ajaran politik untuk diajarkan pada pangeran, pemerintah dan rakyat.
Kemudian, Sejarah Reflektif yang ditulis hanya untuk sekedar mendapat pandangan tentang suatu bangsa dan Negara, atau tentang dunia. Sejarah jenis ini ditulis mirip dengan Sejarah Asli, manakala ia ditulis tidak memiliki tujuan yang lebih jauh daripada untuk menyajikan sejarah sebuah negeri yang lebih utuh. Penulis sejarah jenis ini menulis sejarah sedemikian jelasnya sehingga pembaca seolah dapat mengkhayalkan dirinya menjadi saksi mata atas peristiwa yang dicerita dalam sejarah. Meskipun efeknya pada pembaca bisa sedemikian nyata, perlu dicatat sejarah jenis ini tidak seperti Sejarah Asli, yang penulisnya berada dalam satu orde dan ruh sejarah yang ditulisnya. Penulis Sejarah Reflektif ini tidak terikat ruang dan waktu saat sejarah itu terjadi, ia bahkan berbeda kebudayaan dan zamannya.
Bentuk Sejarah Reflektif yang ketiga adalah yang bersifat Kritis. Bentuk ini pantas disebut sebagai cara menceritakan sejarah yang unggul. Bukan sejarah itu sendiri yang dihadirkan di sini. Kita mungkin lebih tepat menunjukannya sebagai sebuah sejarah tentang sejarah; sebuah kritik terhadap penceritaan sejarah dan sebuah pengkajian atas kebenaran dan kredibilitasnya. Kekhususannya dalam kenyataan dan tujuan, terkandung di dalam ketajaman penulis memeras segala sesuatu dari catatan yang tidak terdapat dalam materi yang tercatat(J.W.F. Hegel, Filsafat Sejarah, terjemahan Cuk Ananta Wijaya, 2007:10) . Model penulisan sejarah ini lebih bersifat menggugat dan menentang fakta sejarah yang telah ditetapkan dengan baik.
Lalu yang terakhir Sejarah Reflektif yang sifatnya tematik, seperti halnya Sejarah Seni, Hukum atau Agama. Sejarah jenis ini menunjukan ketidaklengkapannya karena ia hany disajikan berdasar tema-tema tertentu.
Yang berikutnya yaitu sejarah jenis ketiga, adalah Sejarah Filsafati seyogyanya sejarah jenis ini mendapatkan ruang yang luas untuk dituliskan di sini. Mengingat di sinilah point-point pemikiran Filsafat Sejarah Hegel tertuang dan jenis Sejarah Filsafatilah yang Hegel di dalamnya bergelut. Namun, karena keterbatasan saya dalam memahami pemikiran Hegel ini, maka saya hanya akan menuliskan sangat sedikit kefahaman perihal pemikiran Hegel yang satu ini. Dimulai dari definisi umum yang Hegel paparkan perihal Filsafat Sejarah atau Sejarah Filsafati. Yaitu, bahwa Filsafat Sejarah tidak menggunakan sarana apa pun kecuali pertimbangan pemikirannya terhadapnya. Bagi Hegel, pemikiran adalah unsur yang tetap dan hakiki bagi kemanusiaan.
Kemudian Hegel menggunakan kata Rasio. Rasio adalah penguasa dunia, dengan demikian, sejarah dunia memberikan proses yang rasional pada kita. Proses yang rasional bagi saya adalah proses yang bisa terpahami dan pada dirinya adalah proses yang sadar diri. Lalu apakah yang sadar diri itu? Materikah? Atau Ruh kah? Materi dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang saling menyisihkan oleh karenanya Materi bersifat menghancurkan dirinya. Jika Materi sampai pada titik yang tak dapat dibagi lagi, ia tidak lagi menjadi Materi, ia telah lenyap bersatu pada sesuatu yang lain yang menjadi pusatnya. Sedangkan Ruh berbeda dengan Materi yang berpusat pada sesuatu di luar dirinya (Materi memiliki gaya berat), Ruh tidak seperti itu, ia adalah sesuatu yang berpusat pada dirinya sendiri. Ruh adalah eksistensi yang mengandung dirinya sendiri. Ia bebas, tidak tergantung pada sesuatu di luar dirinya melainkan bergantung pada dirinya sendiri. Itulah yang disebut kesadaran diri menurut Hegel. Kesadaran diri berarti kebebasan.
Dan sejarah bagi Hegel adalah gerak kebebasan. Sejarah dimulai dari kekurangbebasan, Ruh Dunia yang kurang sadar diri. Sejarah berjalan linier. Dimulai dari Orang Timur. Orang Timur telah tahu bahwa ¨ manusia itu bebas ¨ namun kebebasannya hanyalah aksidensi dari Alam. Alam pikiran manusia masih dikuasai oleh bayang-bayang kekuasaan Alam yang serba misterius. Kemudian, kesadaran akan kebebasan lahir di Yunani dan Romawi. Itu pun hanya sebagian manusia, tidak manusia secara utuh. Sebagian manusia masih berada di dalam bayang-bayang perbudakan. Kebebasan tumbuh dan berlaku bagi sebagian manusia, sifatnya terbatas dan sementara saja. Maka bangsa Jerman, di bawah pengaruh agama kristenlah yang benar-benar mencapai taraf kesadaran dirinya yang utuh. Bahwa manusia sebagai manusia adalah bebas. Bangsa Jerman, bagi Hegel adalah model Ruh Dunia (yang sadar diri) mencapai kematangan sejarah yaitu kebebasan. Dan agama Kristen adalah inspirasinya.
Kira-kira begitulah hasil bacaan dan pemahaman saya perihal Sejarah Filsafati (atau Filsafat Sejarah) yang lebih berfokus pada “Yang Ada” yang eksis jadi penggerak dunia. Yaitu, Ruh Dunia (atau “Rasio”) yang bergerak menuju kebebasan, keabadian, kesatuan atau absolutisme.
0 komentar:
Posting Komentar