Ketika kita mendengar atau melihat dari media televisi, atau membaca dari koran yang memberitakan suatu kejahatan dengan spontan kita berucap "sungguh orang ini bukan manusia!, sungguh keji tak bermoral! Lantas ketika ditanya mengapa kita berkata seperti itu? Apa sih yang di sebut moral itu? Apakah dasar yang melandasi moral itu? Adakah sesuatu yang mengharuskan kita berbuat ini dan itu? Mengapa kita tidak harus berbuat sebaliknya? Apa jadinya kalau kita berbuat yang sebaliknya? Dengan dihujani pertanyaan-pertanyaan seperti itu kita sangat kelabakan untuk menjawabnya, walaupun kita sudah tidak asing lagi mendengar kata "moral" karena seringnya itu kita hampir lupa dengan makna yang terkandung dari kata moral itu sendiri, sehingga kita tidak mau mempertanyakan hal itu dan seolah-olah moral itu menjadi tabu untuk dipertanyakan lagi. Dengan itu disini saya akan sedikit memaparkan tentang "moral" atau "etika".
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Kristen, etika Islam, etika Kantian, etika Aristotelian, dll. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Pada kenyataan moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Sebagaimana diketahui sejak lama, yang menjadi kajian dalam pembahasan moral adalah "seharusnya" atau "sebaiknya" kita atau orang lain bertindak, misalnya ketika anda mengatakan seseorang harus atau sebaiknya melakukan sesuatu, sering kali itu bukanlah akhir dari masalah tetapi permulaan nya. Masalahnya adalah status "sebaiknya" tidak jelas. Apakah itu perintah absolute atau itu dalam beberapa hal bersyarat?
Untuk mendapatkan gambaran saya akan mengambil beberapa pertanyaan dari beberapa filsuf moral. Filsuf pertama yang kita pilih adalah David Hume (1711 – 1776), David Hume dikenal sebagai salah seorang kritikus moral yang luar biasa tajam. Hume mempersoalkan pembedaan dan hubungan logis antara kenyataan faktual (factual fact) dan kenyataan moral (moral fact). Pengamatan Hume ini menjadi diskusi moral yang tak habis-habisnya. Persoalan dasar yang diajukan Hume berbunyi: Mengapa dari kenyataan faktual dapat ditarik suatu kenyataan moral? Persoalan ini dapat dirumuskan kedalam bahasa logika: Mengapa dari pernyataan factual dapat ditarik pernyataan atau kesimpulan normatif? Pernyataan factual adalah pernyataan yang menunjukan adanya sesuatu. Sedangkan pernyataan normative adalah pernyataan yang mengandung suatu perintah atau keharusan. Pernyataan factual ditandai dengan predikat to be, sedangkan pernyataan normatif dengan ought to. Maka persoalan Hume dapat dirumuskan menjadi: Mengapa dari to be dapat ditarik suatu ought to? Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
A: "Kau harus (ought to) membantu "
B: "Mengapa?"
A: "Karena dia adalah (to be) bapakmu, dan dia membutuhkan bantuanmu"
Dilihat dari kritik Hume, kita dapat bertanya: Apakah hubungan antara "Dia bapakmu" dan "Kau harus membantu"; atau mengapa dari pernyataan factual "Dia adalah bapakmu" ditarik pernyataan normative "Kau harus membantu"? Hume menunjukan adanya jurang penalaran yang tak terjembatani dan tak terpahami dari to be ke ought to.
Menurut Nietzsche, Hume masih terjebak dalam pengakuan akan adanya fakta. Fakta itu tidak ada! Kalau demikian, kita tidak perlu mengadakan pembedaan antara kenyataan factual dan kenyataan moral. Yang ada hanyalah interpretasi. Dan yang kita akui sebagai gejala moral adalah interpretasi moral. Karena itu, Nietzsche berpendapat, interpretasi semacam ini timbul karena dorongan manusia untuk berkuasa, dan bukan karena adanya fakta atau gejala moral. Dengan demikian, bagi Nietzsche, tidak ada lagi persoalan logika antara to be dan ought to.
Orang kedua yang kita pilih adalah Immanuel Kant. Serbagaimana kita ketahui, Kant bermaksud membuktikan bahwa keputusan moral itu dapat dibuktikan dan ditunjukan secara ilmiah. Pemikirannya ini sejalan dengan pemikirannya tentang pengetahuan pada umumnya. Dari segi ini, pandangan Kant tentang moralitas dapat dikategorikan sebagai pandangan epistemologi tentang moralitas. Dengan gagasannya tentang kategori imperatif, Kant bermaksud membuktikan adanya kewajiban moral yang bersifat mutlak tanpa syarat dan bersifat universal. Kant menunjukkan landasan rasional bagi kewajiban orang untuk bertindak atas dasar tuntutan moral yang berlaku dalam situasi apa saja dan dimana saja. Dengan itu sebenarnya Kant hendak menjawab pertanyaan: Apa landasan bagi tuntutan bahwa orang harus bertindak baik, jujur, dan adil? Kant percaya adanya dasar mutlak dan tanpa syarat yang mengharuskan orang untuk bertindak dengan cara itu, dan kalau orang lain bertindak dengan cara itu pula maka setiap orang akan diuntungkan. Inilah argumentasi yang disumbangkan oleh Kant untuk memenuhi suatu perintah atau tuntutan moral tanpa syarat.
Orang ketiga yang kita pilih adalah Hegel. Dengan filsafat sejarahnya, Hegel membuktikan bahwa sejarah didominasi oleh moralitas. Hegel percaya bahwa di belakang realitas alam ini ada Roh Alam. Dan sejarah adalah proses yang membuat Roh Alam bergerak maju dari ketidaksadaran dan ketidakbebasan kea rah kesadaran diri dan kebebasan absolut. Dalam proses, Roh-Alam terus memanifestasikan dirinya ke dalam alam sekaligus memahami dirinya.
Orang berikutnya adalah Nietzsche. Seperti telah ditunjukan di atas, dalam kritiknya terhadap Hume, Nietzsche tidak mengakui adanya fakta moral. Nietzsche menunjukan bahwa sebenarnya yang disebut moralitas pada dirinya itu tidak ada; yang ada hanyalah interpretasi moral. Adapun interpretasi itu sendiri berasal dari luar-moral (extra moral). Menurut Nietzsche moralitas adalah system penilaian (system of evaluations), sedangkan penilaian itu sendiri menurut Nietzsche, selalu berbuat exegesis, yaitu "a way of interprenting". Jadi, moralitas bagi Nietzsche selalu penafsiran untuk suatu penilaian.
Macam-macam etika :
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (to be), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought to).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.
oleh : E. Ruswandi
Daftar Pustaka
Baggini. Julian . Lima Tema Utama Filsafat. Terju. PT. Mizan Publika. 2004
Bertens. K. Etika. Jakarta: Gramedia. 2000
St. Sunardi. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS. 1996
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika.
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Kristen, etika Islam, etika Kantian, etika Aristotelian, dll. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Pada kenyataan moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Sebagaimana diketahui sejak lama, yang menjadi kajian dalam pembahasan moral adalah "seharusnya" atau "sebaiknya" kita atau orang lain bertindak, misalnya ketika anda mengatakan seseorang harus atau sebaiknya melakukan sesuatu, sering kali itu bukanlah akhir dari masalah tetapi permulaan nya. Masalahnya adalah status "sebaiknya" tidak jelas. Apakah itu perintah absolute atau itu dalam beberapa hal bersyarat?
Untuk mendapatkan gambaran saya akan mengambil beberapa pertanyaan dari beberapa filsuf moral. Filsuf pertama yang kita pilih adalah David Hume (1711 – 1776), David Hume dikenal sebagai salah seorang kritikus moral yang luar biasa tajam. Hume mempersoalkan pembedaan dan hubungan logis antara kenyataan faktual (factual fact) dan kenyataan moral (moral fact). Pengamatan Hume ini menjadi diskusi moral yang tak habis-habisnya. Persoalan dasar yang diajukan Hume berbunyi: Mengapa dari kenyataan faktual dapat ditarik suatu kenyataan moral? Persoalan ini dapat dirumuskan kedalam bahasa logika: Mengapa dari pernyataan factual dapat ditarik pernyataan atau kesimpulan normatif? Pernyataan factual adalah pernyataan yang menunjukan adanya sesuatu. Sedangkan pernyataan normative adalah pernyataan yang mengandung suatu perintah atau keharusan. Pernyataan factual ditandai dengan predikat to be, sedangkan pernyataan normatif dengan ought to. Maka persoalan Hume dapat dirumuskan menjadi: Mengapa dari to be dapat ditarik suatu ought to? Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
A: "Kau harus (ought to) membantu "
B: "Mengapa?"
A: "Karena dia adalah (to be) bapakmu, dan dia membutuhkan bantuanmu"
Dilihat dari kritik Hume, kita dapat bertanya: Apakah hubungan antara "Dia bapakmu" dan "Kau harus membantu"; atau mengapa dari pernyataan factual "Dia adalah bapakmu" ditarik pernyataan normative "Kau harus membantu"? Hume menunjukan adanya jurang penalaran yang tak terjembatani dan tak terpahami dari to be ke ought to.
Menurut Nietzsche, Hume masih terjebak dalam pengakuan akan adanya fakta. Fakta itu tidak ada! Kalau demikian, kita tidak perlu mengadakan pembedaan antara kenyataan factual dan kenyataan moral. Yang ada hanyalah interpretasi. Dan yang kita akui sebagai gejala moral adalah interpretasi moral. Karena itu, Nietzsche berpendapat, interpretasi semacam ini timbul karena dorongan manusia untuk berkuasa, dan bukan karena adanya fakta atau gejala moral. Dengan demikian, bagi Nietzsche, tidak ada lagi persoalan logika antara to be dan ought to.
Orang kedua yang kita pilih adalah Immanuel Kant. Serbagaimana kita ketahui, Kant bermaksud membuktikan bahwa keputusan moral itu dapat dibuktikan dan ditunjukan secara ilmiah. Pemikirannya ini sejalan dengan pemikirannya tentang pengetahuan pada umumnya. Dari segi ini, pandangan Kant tentang moralitas dapat dikategorikan sebagai pandangan epistemologi tentang moralitas. Dengan gagasannya tentang kategori imperatif, Kant bermaksud membuktikan adanya kewajiban moral yang bersifat mutlak tanpa syarat dan bersifat universal. Kant menunjukkan landasan rasional bagi kewajiban orang untuk bertindak atas dasar tuntutan moral yang berlaku dalam situasi apa saja dan dimana saja. Dengan itu sebenarnya Kant hendak menjawab pertanyaan: Apa landasan bagi tuntutan bahwa orang harus bertindak baik, jujur, dan adil? Kant percaya adanya dasar mutlak dan tanpa syarat yang mengharuskan orang untuk bertindak dengan cara itu, dan kalau orang lain bertindak dengan cara itu pula maka setiap orang akan diuntungkan. Inilah argumentasi yang disumbangkan oleh Kant untuk memenuhi suatu perintah atau tuntutan moral tanpa syarat.
Orang ketiga yang kita pilih adalah Hegel. Dengan filsafat sejarahnya, Hegel membuktikan bahwa sejarah didominasi oleh moralitas. Hegel percaya bahwa di belakang realitas alam ini ada Roh Alam. Dan sejarah adalah proses yang membuat Roh Alam bergerak maju dari ketidaksadaran dan ketidakbebasan kea rah kesadaran diri dan kebebasan absolut. Dalam proses, Roh-Alam terus memanifestasikan dirinya ke dalam alam sekaligus memahami dirinya.
Orang berikutnya adalah Nietzsche. Seperti telah ditunjukan di atas, dalam kritiknya terhadap Hume, Nietzsche tidak mengakui adanya fakta moral. Nietzsche menunjukan bahwa sebenarnya yang disebut moralitas pada dirinya itu tidak ada; yang ada hanyalah interpretasi moral. Adapun interpretasi itu sendiri berasal dari luar-moral (extra moral). Menurut Nietzsche moralitas adalah system penilaian (system of evaluations), sedangkan penilaian itu sendiri menurut Nietzsche, selalu berbuat exegesis, yaitu "a way of interprenting". Jadi, moralitas bagi Nietzsche selalu penafsiran untuk suatu penilaian.
Macam-macam etika :
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (to be), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought to).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.
oleh : E. Ruswandi
Daftar Pustaka
Baggini. Julian . Lima Tema Utama Filsafat. Terju. PT. Mizan Publika. 2004
Bertens. K. Etika. Jakarta: Gramedia. 2000
St. Sunardi. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS. 1996