Minggu, 08 Mei 2011

penutup teori evolusi dan atheisme (bagian akhir)

0

Oleh   :  Ismail Fajar Romdhon





Peradaban Barat melalui ilmu pengetahuan modernnya telah menguasai dunia sejak masa kebangkitan di abad 17 pada masa rennaissance. Peradaban ini telah mengubah muka dunia khususnya konsep hidup beragama. Pengetahuan modern telah menggeser peran keagamaan dan menggantinya dengan paham yang lebih sekular, ateis dan materialis. Keadaan ini akan memperburuk keadaan dan membawa peradaban manusia kepada jahiliyyah modern yang lebih tidak memanusiakan manusia.
            Dengan berkembangnya teknologi informasi dan globalisasi di sekitar kita, memunculkan kekhawaatiran terhadap generasi umat di masa yang datang. Saat ini saja  tantangan pemikiran kontemporer telah mengorbankan  banyak kaum muda Islam yang terjebak ke dalam paradigma sekular dan plural. Oleh sebab itu, jalan untuk mengcounternya adalah melalui jalur pendidikan.
            Dalam setiap perjuangan tentunya memerlukan pengorbanan. Umat Islam harus berjuang keras mengembangkan semua potensi yang dimilikinya, baik itu pemikiran, fininsial dan fisik jika diperlukan untuk membangun kembali peradaban Islam yang lebih maju dan maslahat. Karenanya perjuangan sudah menjadi keniscayaan. Dan kita sebagai kaum muda pantang menyatakan mundur atau lebih menghadapkan wajah kita kepada pemenuhan hasrat keduniaan dan menerapkan skala prioritas yang salah dan tidak berimbang. Sebagai pelopor dan lini depan perjuangan Islam, kaum muda hendaknya berani bertaruh dengan keimanan yang dimilikinya sebagaimana pertaruhan yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menginfakkan semua hartanya demi kepentingan Islam. Khalaftu lahum iddatallahi wa iddata Rasulihi, aku tinggalkan bagi keluargaku janji Allah dan Rasulnya. Begitulah perkataan Abu Bakar saat ditanya oleh Rasul apa yang dia sisakan bagi keluarganya.
            Sudah saatnya kita menempuh jalan yang mengantarkan Islam dan umat Islam pada kejayaan yaitu General Islamization. Al-Qur’an telah mengintegrasikan pola hidup bermasyarakat umat Jahiliyyah, dengan  cara pemurnian ajaran Nabi Ibrahim AS., pengesahan sistem muamalah dan pergaulan yang sesuai dengan konsep Islam, serta pembersihan segala praktek dan tata cara ibadah kepada Allah SWT. Dan langkah ini harus kita mulai lagi dari sekarang dengan tantangan yang lebih besar karena Rasul tidak di samping kita.

Read more

Islamisasi Ilmu Pengetahuan (teori evolusi dan atheisme bagian 6)

0

Oleh   :     Ismail Fajar Romdhon



Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa teori evolusi memiliki dampak yang merusak akal sehat bahkan menghancurkan kehidupan beragama. Dan tentu saja musuh terbesarnya adalah umat Islam. Oleh karenanya perlu adanya penanaman nilai-nilai keislaman dalam bidang pendidikan. Darwinisme adalah produk peradaaban Barat dan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan modern. Darwinisme juga telah menjadi icon bagi peradaban Barat.
            Ismail Raji Al-Faruqi menjelaskan pengertian islamisasi sains sebagai usaha yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan, dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam. Menurutnya, Islamisasi dibangun di atas konsep Tauhid, Penciptaan, Kebenaran dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kemanusiaan.
Sementara menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, islamisasi sains adalah pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya.
Ini bermakna Islamisasi adalah satu proses pembebasan individu dari pandangan alam tahayul dan sekuler. Justeru itulah kita dapat melihat bagaimana dalam konteks umat Melayu-Indonesia, proses Islamisasi berlaku dengan membebaskan mereka dari pandangan hidup animis, Hindu, Budha yang mereka anut sebelum Islam tiba.           
Apabila dipahami secara mendalam, dari berbagai ide Islamisasi sains yang berkembang saat ini, paling tidak ada lima metode yang dapat didekati. Kelima metode tersebut senantiasa berkembang dan mempunyai pengikut yaitu pendekatan konsep Intrumentalistik, Justifikasi, Sakralisasi, Integrasi, dan Paradigma.
Konsep Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik merupakan suatu konsep yang menganggap ilmu atau sains sebagai alat (instrumen). Bagi mereka yang berpandangan bahwa sains, terutama teknologi adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri. Yang penting sains tersebut bisa membuahkan tujuan bagi pemakainya. Tokoh metode ini adalah Jamaluddin al-Afghani, kemudian Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Sir Sayyid Ahmad Khan.
Islamisasi sains yang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kalangan awam adalah Islamisasi sains dengan metode justifikasi. Maksud justifikasi adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Al-Quran maupun Al-Hadits.
Tokoh yang kerapkali mengemukakan masalah kesesuaian ayat-ayat Al-Quran dengan penemuan ilmiah modern adalah Maurice Bucaille, dan mempengaruhi banyak pemikir muslim, di antaranya Harun Yahya.
Konsep Islamisasi sains berikutnya menggunakan pendekatan sakralisasi. Artinya, sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas, diarahkan menuju sains mempunyai nilai sakral. Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Dilanjutkan oleh murid-muridnya di antaranya yang paling aktif adalah Osman Bakar.
Dalam sains sakral, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman. Rasio merupakan refleksi dan ekstensi dari Intellek. Ilmu pengetahuan pada akhirnya terkait dengan Intelek Ilahi dan Bermula dari segala yang sakral. Nasr menegaskan, Sains Sakral bukan hanya milik ajaran Islam, tetapi dimiliki juga oleh agama Hindu, Budha, Confucious, Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen dan Filsafat Yunani klasik.
Ide Islamisasi sains yang paling populer adalah metode integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Ide Islamisasi ini diusung oleh Ismail Raji Al-Faruqi. Islamisasi ilmu pengetahuan, kata Al-Faruqi, adalah solusi terhadap dualisme system pendidikan kaum Muslimin saat ini. Baginya, dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan paradigma Islam, yaitu tauhid. Paradigma tersebut bukan imitasi dari Barat, bukan juga untuk semata-mata memenuhi kebutuhan ekonomis dan pragmatis pelajar untuk ilmu pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atau pencapaian materi. Namun, paradigma tersebut harus diisi dengan sebuah misi, yang tidak lain adalah menanamkan, menancapkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu.
Konsep Islamisasi sains yang dirasakan paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah konsep dengan pendekatan yang berlandaskan paradigma Islam. Ide Islamisasi sains seperti ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Al-Attas. Bahkan secara khusus ia menyebut permasalahan Islamisasi adalah permasalahan mendasar yang bersifat epistemologis.
Islamisasi sains atau ilmu pengetahuan kontemporer secara Paradigma digagas oleh Syed M. Naquib Al-Attas. Beliau mengemukakan pikirannya tentang tantangan terbesar yang sedang dihadapi kaum Muslimin adalah sekularisasi ilmu pengetahuan.
Proses Islamisasi sains itu sendiri dilakukan menurut Al-Attas dengan dua cara yang saling berhubungan dan sesuai urutan, yaitu pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Jelasnya, ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.
Islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempeli (melabelisasi) sains dan prinsip Islam atas sains sekular. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama "virus"nya masih berada dalam tubuh sains itu sendiri sehingga sains yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekularpun juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari sains yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi sains dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.
Menurut Al-Attas, sebelum melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, ada dua tahap yang harus diprioritaskan oleh umat Islam. Pertama, menguasai ilmu pengetahuan modern. Ini berarti bahwa para ilmuwan muslim hendaknya memiliki penguasaan yang komprehensif terhadap sains modern. Mereka harus mengerti tentang isu dan metode yang tepat untuk melakukan pendekatan terhadap sains. Mereka juga harus memahami aspek-aspek analisis, kritis dan objektivitas sain menurut paradigma Barat dan menurut pandangan Islam. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan modern, umat Islam akan mudah untuk mengakses dan melakukan kritik terhadap konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Kedua, umat Islam harus menguasai warisan ilmu dari Nabi SAW. Penguasaan ini akan memberikan kemampuan baagi umat Islam untuk membangun persepsi baru dari sebuah pengetahuan. Yaitu ilmu pengetahuan dalam pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dia harus memahami berbagai teks keagamaan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.[1]



[1]Syed Mohammad Naquib Al-Attas, The Islamization of Knowledge. Hal 88

Read more

Eksistensi Ateisme di Indonesia (teori evolusi dan atheisme bagian 5)

3

Oleh :  Ismail Fajar Romdhon

Hukum di Indonesia sudah mengatur sikap hidup beragama bagi pemeluknya dan tidak memayungi penduduk yang tidak beragama. Karena di UUD 45 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Pada pasal ini negara mengatur tentang kebebasan seseorang untuk menjadi theist dan bukan Atheist. Untuk itu, tidak ada jaminan dari negara Indonesia terhadap penganut Atheist. Inilah yang menjadi faktor para penganut Atheist menjadi komunitas yang “underground”.[1]

 Kelompok ateis di Indonesia sendiri sudah mulai memperlihatkan pengaruh dan eksistensinya di dunia maya. Situs seperti http://atheisindonesia.blogspot.com/, http://ateisindonesia.wikidot.com/, http://indonesianatheists.wordpress.com, dan http://www.sea-atheists.org/indonesia/, merupakan situs dengan konten  ateisme yang masih aktif.

Sementara dalam situs jejaring sosial facebook, kelompok ateis ini berintegrasi dalam grup adalah “Indonesian Atheist Society” yang memiliki 665 anggota, “Indonesian society of humanits” yang beranggotakan 335 orang, dan “Indonesian Freethinkers” yang beranggotakan 554 orang. Jumlah ini sudah mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu signifikan dari tahun 2010 yaitu, “Indonesian Atheist Society” memiliki 465 anggota, “Indonesian Freethinkers” beranggotakan 431 orang.[2]

Bila kita melihat perkembangan atheis di negara-negara maju yang lebih pesat dibandingkan dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia, hal ini disebabkan oleh dukungan kemajuan teknologi informasi yang sudah merata yang memungkinkan mereka untuk bertemu dan bertukar fikiran di dunia maya tanpa terlihat atau terpantau secara terbuka oleh orang lain.

Hal ini juga mulai dijajaki oleh komunitas ateis di Indonesia dengan membentuk Forum Diskusi Ateis Indonesia dengan alamat http://ateis.multiply.com/journal/item/13/atheis. Dalam forum ini mereka saling memberi komentar dan mencoba meyakinkan dirinya dan orang-orang yang sefaham dengannya dengan mengatakan bahwa saya tidak percaya Tuhan dan saya bahagia, aya tidak percaya mistis, ghaib dan cinta perdamaian.

Tetapi sifat forum ateis yang terbuka ini menjadi ruang bagi para teis untuk masuk dan memberi komentar. Bahkan lebih dari itu banyak juga yang berani menentang langsung faham ateis dan mengatakannya sebagai faham yang “banci” karena tidak memiliki komitmen atas apa yang diyakininya.

Terlepas dari fakta yang terjadi di lapangan seperti dijelaskan di atas, faham ateis jelas merupakan musuh Islam dan jangan sampai diberi kesempatan untuk terus tumbuh dan berkembang. Untuk itu diperlukan langkah langkah sistematis sebagai counter attack bagi Darwinisme. 



[2]Data diambilpadatanggal 18 April 2011

Read more

Dampak Darwinisme Bagi Kehidupan Beragama (teori evolusi dan atheisme bagian 4)

0

Oleh  : Ismail Fajar Romdhon




Teori evolusi sampai kini masih dianggap sebagai teori yang diakui di dunia. Hal ini karena telah terjadi indoktrinasi dalam sistem pengajaran di sekolah-sekolah, terutama dalam mata pelajaran biologi dan sejarah. Secara terminologis, indoktrinasi berarti sebagai berikut:
Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu. Praktik ini seringkali dibedakan dari pendidikan karena dalam tindakan ini, orang yang diindoktrinasi diharapkan untuk tidak mempertanyakan atau secara kritis menguji doktrin yang telah mereka pelajari. Instruksi berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, khususnya, tak dapat disebut indoktrinasi karena prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan menuntut evaluasi diri yang kritis dan sikap bertanya yang skeptis terhadap pikiran sendiri.
Indoktrinasi merujuk kepada serangkaian kegiatan yang berbeda-beda, sehingga upaya mencari definisi yang tunggal menjadi sulit. Di bidang psikologi, sosiologi, dan penelitian pendidikan, istilah-istilah yang lebih tepat seringkali lebih dipilih, termasuk (namun tak terbatas pada): sosialisasi, propaganda, manipulasi, dan cuci otak.[1]
            Indoktrinasi ini menurut Harun Yahya dapat berdampak negatif pada perkembangan otak atau bahkan melumpuhkan kemampuannya dalam menilai sesuatu. Pada akhirnya otak yang terus dicecar pernyataan tentang kebenaran teori Darwin akan kewalahan dan akhirnya menerima doktrin tersebut.[2]
            Kekhawatiran akan dampak Darwinisme tidak hanya menjadi milik kaum muslimin saja. Karena Darwinisme telah menghapus keberadaan Tuhan yang secara tidak langsung menyerang semua umat beragama di dunia dan tidak hanya Islam.
Victor Bob, seorang staf pengajar di sebuah Gereja di Pekanbaru menulis dalam blog pribadinya[3] sebagai wujud keprihatinannya terhadap dampak Darwinisme bagi ajaran kristen sebagai berikut:
Sampai saat ini tema evolusi masih tetap di ajarkan di sekolah-sekolah. Meskipun sebagian guru tidak percaya bahwa manusia berasal dari binatang, namun serpihan-serpihan konsep evolusi masih tetap exist di dalam pelajaran berbagai pelajaran di sekolah, terutama dalam pelajaran biologi dan sejarah. Serpihan-serpihan pikiran evolusi ini menjadi penghambat para pelajar untuk sungguh-sungguh beriman kepada Kitab Suci. Di satu sisi mereka percaya bahwa alam semesta dicipta oleh Allah dalam waktu 6 hari. Namun sisi lain mereka percaya bahwa proses terjadinya manusia dan makhluk-lainnya butuh waktu jutaan tahun. Da satu sisi mereka diajarkan untuk percaya sepenuhnya pada Alkitab yang adalah firman Tuhan. Namun sisi lain mereka juga harus menerima pengajaran sekolah yang isinya bertentangan dengan firman Tuhan. Seorang murid saya dengan kebingungan bertanya kepada guru biologinya yang mengajarkan teori evolusi. Dia mempertanyakan perbedaan antara Alkitab dengan pelajaran pelajaran biologi mengenai asal mula manusia. Guru biologi tersebut menjawab, "Kebenaran dalam Alkitab tidak bisa diterapkan di dalam illmu biologi. Ini dua bidang yang berbeda." Dalam benak siswa kebenaran itu telah terkoyak-koyak. Tidak ada kesatuan di dalam kebenaran. Ketika kebenaran sudah saling berkontradiksi maka logika tidak lagi butuhkan.
Memang benar demikian, sekularisme adalah dalil pamungkas bagi para pendukung Darwinisme. Karena dengan memisahkan ilmu pengetahuan dari jangkauan firman Tuhan manjadi sebuah kekuatan tersendiri baginya untuk dapat terus diterima dan mandapat pengakuan dunia secara umum. Hal ini ditegaskan juga oleh Adnin Armas bahwa ilmu pengetahuan Barat telah memberikan pengaruh terhadap ajaran kristen dan memasukkan faham sekuler ke dalam doktrin agamanya. Telah terjadi pergeseran paradigma teologi kristen di mana para teolog Kristen telah memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan paradigma sains modern yang sekular.[4]



[1] Wikipedia.com diambil tanggal 20 April 2011 tersedia [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Indoktrinasi
[2] Harun Yahya, Keruntuhan Teori Evolusi. Harun Yahya International 2004
[3] Victor Bob,Dampak Darwinisme Bagi Kehidupan, tersedia [online] http://victormordechai.blogspot.com/2009/03/dampak-darwinisme-bagi-kehidupan.html tanggal 20 April 2011
[4] Adnin Armas M.A. ibid

Read more

Sejarah Lahir Teori Evolusi (teori evolusi dan atheisme bagian 3)

0

Oleh     : Ismail Fajar Romdhon




Teori evolusi ditemukan oleh naturalis amatir berkebangsaan Inggris bernama Charles Robert Darwin. Ia tidak pernah menempuh jalur formal di bidang biologi, tetapi ia memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap alam dan biota hidup. Hal inilah yang mendorongnya untuk mengikuti sebuah ekspedisi pelayaran dalam sebuah kapal bernama H.M.S. Beagle sebagai sukarelawan selama lima tahun.
            Dalam perjalanannya Darwin menemukan berbagai spesies burung dengan bentuk paruh yang berbeda-beda. Ia memiliki  kesimpulan bahwa bentuk paruh itu dihasilkan dari adaptasi burung terhadap lingkungannya. Ia mengira bahwa variasi pada paruh burung-burung tersebut disebabkan oleh adaptasi mereka terhadap habitat. Dengan pemikiran ini, ia menduga bahwa asal usul kehidupan dan spesies berdasar pada konsep "adaptasi terhadap lingkungan". Menurut Darwin, aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek moyang yang sama dan menjadi berbeda satu sama lain akibat kondisi alam.
Hipotesis Darwin tidak berdasarkan penemuan atau penelitian ilmiah apa pun; tetapi kemudian ia menjadikannya sebuah teori monumental berkat dukungan dan dorongan para ahli biologi materialis terkenal pada masanya. Gagasannya menyatakan bahwa individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka dengan cara terbaik, akan menurunkan sifat-sifat mereka kepada generasi berikutnya. Sifat-sifat yang menguntungkan ini lama-kelamaan terakumulasi dan mengubah suatu individu menjadi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya. (Asal usul "sifat-sifat yang menguntungkan" ini belum diketahui pada waktu itu.) Menurut Darwin, manusia adalah hasil paling maju dari mekanisme ini.[1]
            Dalam bukunya The Origin of Species, Darwin sebetulnya sudah mengungkapkan keraguannya terhadap teori yang ditemukannya. Ia menuliskan keraguannya itu dalam satu bab Difficulties of Theory. Kesulitan-kesulitan ini terutama pada catatan fosil dan organ-organ rumit makhluk hidup (misalnya mata) yang tidak mungkin dijelaskan dengan konsep kebetulan, dan naluri makhluk hidup. Darwin berharap kesulitan-kesulitan ini akan teratasi oleh penemuan-penemuan baru; tetapi bagaimanapun ia tetap mengajukan sejumlah penjelasan yang sangat tidak memadai untuk sebagian kesulitan tersebut.[2]
            Teori evolusi mendapat dukungan dari para ilmuwan lainnya yang menamakan dirinya neo-Darwinis. Mereka memasukkan konsep mutant kepada teori evolusi, dengan mengemukakan bukti-bukti adanya penyimpangan genetik dari nenek moyangnya yang asal. Akan tetapi bukti-bukti mutasi yang ada pada manusia maupun hewan merupakan proses mutasi yang “merugikan”. Sehingga selama beberapa dekade mereka melakukan eksperimen tentang mutasi yang “menguntungkan” yang pada akhirnya mengalami kegagalan dan kebuntuan.
Teori yang penuh kebohongan ini masih hidup dan diterima oleh para ilmuwan bukan karena kebenarannya yang empiris. Tetapi lebih kepada kewajiban ideologis. Seorang ilmuwan akan diterima dan diakui jika dia mengadopsi teori evolusi sebagai dasar penelitiannya. Bagi para materialis, teori ini merupakan doktrin yang wajib untuk dilestarikan dan diwariskan, karena akan menghidupkan filsafat kebendaan yang sudah mendarah daging dan menjadi kehidupan mereka. Dan yang paling utama tentu saja karena teori ini sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk menjadikan diri mereka sendiri sebagai Tuhan. Firman Allah SWT.:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً
Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?[3]



[1] Harun Yahya, Ibid
[2] Ibid
[3]Q.S. Al-Furqon ayat 43

Read more

Paradigma Ilmu Pengetahuan Modern (teori evolusi dan atheisme bagian 2)

0

Oleh    : Ismail Fajar Romdhon

Kemajuan ilmu pengetahuan modern (baca:Barat) telah menguasai semua disiplin ilmu pasti maupun ilmu terapan. Hal ini karena prinsip “aku berfikir maka aku ada” (cogito ergo sum) yang dicetuskan oleh René Descartespada abad ke -17 telah menginspirasi ilmuwan-ilmuwan Barat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berlandaskan filsafat materialisme. Prinsip ini menekankan bahwa kebenaran yang dapat diterima adalah kebenaran yang telah diuji oleh akal manusia dan dapat dibuktikan secara empiris.Pendapat ini kemudian diteruskan oleh para ilmuwan lain seperti Immanuel Kant, Sigmund Freud dan Charles Darwin.[1]


Epistemologi Barat modern-sekular juga melahirkan faham ateisme. Akibatnya, paham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.[2]

Adalah Immanuel Kant seorang filosuf Jerman yang tidak mengakui kebenaran metafisika. Baginya pengetahuan adalah suatu kepastian sementara metafisik adalah suatu kemustahilan karena tidak dapat dijangkau oleh panca indra. Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value)[3].

Dalam buku Kritik der Reinen Vernunft, ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan: Apakah yang bisa kuketahui?,Apakah yang harus kulakukan?Apakah yang bisa kuharapkan?. Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.[4]

Tidak berbeda dengan Kant, Sigmund Freud pun memahami agama sebagaiilusi yang berdasarkepadakebutuhanemosianakuntukmemilikikekuatan (regarded the monotheistic god as an illusion based upon the infantile emotional need for a powerful). Freud menganggap bahwa Tuhan yang disembah manusia merupakan ilusi yang lahir dari desakan basic needs manusia untuk mencari perlindungan. Ibaratnya seorang anak yang membutuhkan bapaknya untuk dapat melindungi dan menjaganya dari semua mara bahaya.

Sementara Karl Mark menganggap bahwa agama itu adalah candu masyarakat. Bagi Mark, agama adalah penyebab degradasi peradaban manusia. agama menyebabkan manusia stagnan dan statis. Manusia banyak yang bertindak irasional karena agama yang dianutnya. Tuhan yang digambarkanserba bisa dan berkuasa atas manusia tidak dapat difahami oleh Mark. Baginya ketiadaan agama dan Tuhan dapat membantu membebaskan manusia dari sekat dan ikatan yang bersifat sakral dan irasional.

Karl Mark juga sangat memuja Charles Darwin dalam bidang sains yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak berperan dalam proses munculnya alam semesta. Teori Darwin menekankan bahwa semua benda dan spesies makhluk hidup berkembang dan bertahan hidup serta menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Dengan demikian, teori Darwin menghapus peran Tuhan sebagai Pencipta alam semseta. Teori ini jelas sangat mendukung filsafat materialisme yang mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun selain materi dan materi adalah esensi dari segala sesuatu, baik yang hidup maupun tak hidup. Berawal dari pemikiran ini, materialisme mengingkari keberadaan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah. Dengan mereduksi segala sesuatu ke tingkat materi, teori ini mengubah manusia menjadi makhluk yang hanya berorientasi kepada materi dan berpaling dari nilai-nilai moral. Ini adalah awal dari bencana besar yang akan menimpa hidup manusia.[5]

Semua ilmuwan Barat ini dengan latar belakang keilmuwan yang berbeda-beda, yaitu latar belakang filsafat, sains, psikologi dan sosilogi satu kata dalam memahami metafisika. Bahwa hal yang dapat dipertanggungjawabkan secara empirislah yang memiliki nilai kebenaran. Segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indra yang bisa dipercaya. Sementara agama dan Tuhan hanyalah ciptaan manusia.

Faham ini akan relevan bila ditujukan kepada agama ahli kitab dan agama pagan. Karena agama-agama tersebut lahir dan tumbuh dari hasil pemikiran manusia yang mengandung banyak kontradiksi di dalamnya. Berbeda dengan Islam yang secara tegas mengajukan challenge kepada para pengingkarnya untuk dapat menciptakan ayat-ayat yang serupa dengan ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an. Firman Allah SWT.:

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan jika kamu meragukan (al-Quran) yang Kami Turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. [6]

            Imam Ath-Thobari dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat ini merupakan ihtijaj (argumentasi) bagi Nabi SAW. Dalam menghadapi orang-orang Musyrik, kaum munafiq dan orang-orang ahli kitab, bahwa jika mereka ragu kepada kebenaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Ragu terhadap kebenaran Al-Quran, maka hendaklah mereka mendatangkan hujjah yang menandingi kekuatan Al-Qur’an. Karena baik kalian maupun orang-orang yang membantu kalian akan kesulitan dan mustahil dapat membuat satu surat yang menyerupai surat Al-Qur’an. Dan jika kalian pada akhirnya menyerah, maka deklarasikanlah bahwa Al-Qur’an bukanlah ciptaan maupun gubahan Muhammad, karena Muhammad hanyalah manusia biasa seperti halnya kalian. [7]


(download dalam bentuk document)



[1] Adnin Armas dalam makalahnya Westerenisasi dan Islamisasi Ilmu
[2]Ibid
[3] Ibid
[4]Wikipedia.com, diambil pada Tanggal 19 April 2011 tersedia [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant
[5] Harun Yahya, Keruntuhan Teori Evolusi. Harun Yahya International 2004
[6] Q.S. Al-Baqoroh ayat 23
[7] Abu Ja’far Ath-Thobari, Jamiul Bayan fi Ta’wilil Qur’an. Al-Maktabah Asy-Syamilah




Read more

tori evolusi dan atheisme (pendahuluan)

0

Oleh: Ismail Fajar Romdhon



Pendahuluan
“Some years ago, the story came to us in Toronto about man who was in the merchant marine and made his living on the sea. A muslim gave him a translation of the Qur’an to read. The merchant marine knew nothing about the history of Islam but was interested in reading the Qur’an. When he finished reading it, he brought it back to the muslim and and asked: “This Muhammad, was a sailor?”. He was impressed at how accurately the Quran describes a strom on a sea. When he was told: “No, as a matter of fact, Muhammad lived in the dessert”. That was enough for him. He embraced Islam on the spot.[1]
            Cerita di atas adalah salah satu contoh bukti ilmiah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Seorang pelaut yang non muslim mengira bahwa Nabi Muhammad SAW. Adalah seorang pelaut melalui Al-Qur’an yang dibacanya, yaitu:
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
“Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikit pun.”[2]
Dia melihat gambaran badai yang diterangkan Al-Qur’an sangat nyata dan sesuai dengan apa yang pernah dialaminya di tengah lautan. Gambaran sempurna tentang badai yang diterangkan Al-Qur’an itu memaksa akalnya untuk menerima Islam pada saat itu juga. Bagaimana mungkin seorang Muhammad yang lahir dan hidup di daerah gurun pasir dapat memvisualisasikan proses badai yang terjadi di tengah lautan dengan sangat detil. "...seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap....”.
            Suatu hal yang wajar jika gambaran badai itu diterangkan oleh seorang pelaut atau oleh orang yang pernah menghadapi badai di tengah laut. Tapi Muhammad, bukanlah seorang pelaut melainkan hanya seorang Quraisy yang hidup jauh dari lautan. Sehingga kemudian hidayah taufiq itu turun dan menerangi akalnya yang membuat dia menyadari akan kebenaran Risalah dan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
            Allah telah menciptakan manusia dengan akalnya yang sempurna serta panca indra untuk dapat menjangkau dan memahami apa yang ada di sekitarnya. Dan semua itu tidak ada tujuan lain, melainkan untuk menunjukkan sifat wujud Allah SWT. Tetapi manusia akan kesulitan untuk memahami keberadaan Allah itu dengan sendirinya. Ia memerlukan seorang guide yang membimbing dan mengarahkannya kepada Al-Yaqin . Maka dari itulah Allah mengutus seorang Rasul, sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللَّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ     
Dan sungguh, Kami telah Mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut.” kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul). [3]
            Akan tetapi manusia dengan akal yang telah diberikannya juga berupaya untuk menjadikannya Tuhan dan meniadakan Tuhan yang sebenarnya yang wajib untuk disembah. Padahal pada hakekatnya logika berfikir seperti itu sangat bertentangan dengan standar keilmuan yang mereka buat sendiri.
Masalah ketuhanan dan keraguan manusia tentang eksistensi Allah sebagai Tuhan semua manusia sudah terjadi semenjak zaman Mesir kuno dengan Fir’aun sebagi figur sentral yang menolak da’wah Nabi Musa untuk menyembah kepada Tuhan Yang Satu yaitu Allah SWT. Dengan yakin dan percaya diri Fir’aun tidak hanya meniadakan Allah tetapi sekaligus mendeklarasikan dirinya sebagai seseorang yang berhak untuk disembah dan dipatuhi tanpa terkecuali.
Dalam terminologi modern pandangan yang tidak mempercayai dan mengakui keberadaan Tuhan disebut dengan atheis.Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. [4]
Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Atheisme terbagi menjadi dua, yang pertama adalah ateisme teoritis yang merupakan pandangan yang menolak dengan tegas keberadaan Tuhan serta menentang orang-orang yang menyembah Tuhan. Jenis ateisme yang kedua adalah ateisme praktis yang mengakui bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat disangkal. Hanya saja faham ini menganggap bahwa Tuhan tidak berdaya dan tidak dapat berkuasa atas manusia dan alam. Faham ini menerima wujud Tuhan tapi menolak sifat qudroh-Nya.
Ketidakjelasan dan ke-simpangsiur-an konsep ateis ini disebabkan oleh proses kelahiran faham ini yang tidak memiliki konsep yang jelas. Ditambahpaham kebebasan bagi para pemeluknya merangsang terjadinya inovasi dan inklusif terhadap semua jenis faham ateis.
Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai non-ateis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia). Data ini ibarat fenomena gunung es, karena dari beberapa survei yang dilakukan, banyak responden yang menyembunyikan identitas ke-atheisan-nya karena menghindati stigma negatif dari masyarakat atau juga konsekuensi hukum dari negara tempat dia tinggal.[5]
(download dalam bentuk document)

[1] Dikutip dari Dr. Gary Miller, The Amazing Quran. www.islamhouse.com
[2]Q.S. An-Nur:40
[3] Q.S. An-Nahl:36
[4]Wikipedia.com diambil pada tanggal 18 April 2011tersedia [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Atheisme
[5] Ibid


Read more

Sabtu, 07 Mei 2011

NILAI DIBALIK ILMU

0


 “Berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi politik dan kebudayaan telah menjadi rancu karena diselubungi oleh ideologi yang menguntungkan pihak tertentu…”
-Mazhab Frankfurt-


Dalam ranah filsafat ilmu, ada topik yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Topik tersebut adalah: apakah ilmu itu bebas nilai (value-free) alias netral, atau sebaliknya, ilmu itu sarat akan nilai (value-laden)? Tidak sedikit respon yang bermunculan dalam menanggapi hal ini dengan argument yang pun beragam.

Topik di atas tampaknya tidak sederhana karena setiap jawaban punya implikasi, tidak hanya dalam ranah filsafat ilmu saja. Banyak sekali aspek kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh ilmu. Jadi, paham bahwa ilmu itu value-free atau ilmu itu value-laden, akan mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung (Ahmad Tafsir, 2010: 46, dan Harold Kincaid dkk., 2007: 4).

Ilmu yang dimaksud di sini adalah berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, ilmu sosial, atau ilmu humaniora. Sedangkan untuk memahami maksud kata “nilai” (value)—memperhatikan penggunannya yang beragam dan kompleks, kita bisa melihatnya dari segi makna kata dan pendapat para ahli.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1004)  kata “nilai” mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.” Kata “nilai” untuk bahasa Inggris adalah value. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary edisi keenam (2000: 1493) kata value juga mempunyai beberapa arti, salah satunya adalah “beliefs about what is right and wrong and what is important in life”. (kepercayaan atau keyakinan mengenai apa yang benar dan salah, serta apa yang penting dalam kehidupan). Dua pengertian tersebutlah—sebagaimana akan dijelaskan nanti—yang sesuai dalam pembahasan ini, karena pengertian lain yang terdapat dalam dua kamus tersebut berkaitan dengan harga (uang), dan angka.

Pengertian di atas sejalan dengan yang dijelaskan oleh Harold Kincaid dkk. (2007: 10), bahwa yang dimaksud “nilai” adalah berbagai hal yang oleh individiu-individu dipandang berharga atau mesti dipromosikan, dikembangkan dan direalisasikan.  Dalam pengertian ini, “nilai” tidak hanya mengenai nilai moral, etis, atau politis, tapi juga nilai epistemis.

Terdapat penjelasan yang beragam mengenai ilmu bebas nilai (value-free science),namun bukan berarti kontradiktif. Menurut Ahmad Tafsir (2010: 46), istilah ilmu bebas nilai  berarti bahwa ilmu itu netral, tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Sedangkan menurut Harold Kincaid dkk. (2007: 4), maksud ilmu bebas nilai adalah bahwa suatu penyataan ilmiah (scientific claim) tidak terikat pada pandangan moral dan politik seseorang. Ini karena tugas ilmu adalah menyampaikan fakta-fakta, dan benar-salahnya pernyataan ilmiah tergantung pada bukti. Dan bebas nilai atau netral menurut F. Budi Hardiman (2003: 173) adalah tidak berprasangka, tidak memberikan penilaian baik atau buruk, dan bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Ilmu bebas nilai atau netral juga mengandung arti bahwa suatu teori ilmu bisa digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan untuk apa saja.

Pandangan ilmu bebas nilai merupakan ciri modernitas dan melekat pada pemikiran positivisme. Ini bukan tanpa alasan. Empirisme dan rasionalisme yang merupakan cikal bakal positivisme berusaha keras memperoleh teori yang bersifat ilmiah, teori murni. Keduanya berkeyakinan bahwa teori tersebut mungkin diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan dan kepentingan manusiawi.

Kemudian lahirlah positivisme, yang merupakan puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis hidup manusia.Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta yang objektif sebagai pengetahuan yang sahih (F. Budi Hardiman, 2009: 25).

Objektif, ahistoris (tidak menyejarah), dan netral adalah di antara kriteria ilmu bebas nilai  yang didambakan positivisme. Objektif berarti ilmu sesuai dengan kenyataan. Ahistoris berarti teori yang diciptakannya universal, berlaku di mana saja, dalam berbagai keadaan, dan kapan saja. Netral berarti teori adalah deskripsi murni tentang fakta atau objek, yang merupakan “pengetahuan demi pengetahuan”. Teori tidak dapat mempengaruhi atau mengubah objeknya, sedangkan objeknya adalah merupakan sesuatu yang tidak berubah, sehingga tidak mempengaruhi kegiatan untuk memperoleh teori murni.

Bagi F. Budi hardiman (2003: 173) watak-watak tersebut merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar di kalangan komunitas ilmiah, seperti sikap tak berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah bagaimanapun meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif.

Ilmu bebas nilai sepertinya sudah menjadi pandangan umum. Ini terlihat dari banyaknya teori, metodologi, dan konten/produk ilmu yang diciptakan Barat menyebar ke seluruh penjuru dunia. Orang-orang dewasa ini dengan bangga menyebut sebagai “Kebudayaan ilmiah modern  (Scientific Civilization)”. Hampir setiap negara dan masyarakat dewasa ini mengarahkan proses modernisasinya ke sana.

Namun seiring perjalanan waktu, pandangan ilmu bebas nilai tidak lepas dari kritik. Hal tersebut terjadi terutama setelah terjadi Perang Dunia I dan II. Ini dilihat dari sisi aksiologis ilmu, bahwa ternyata ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka.

Dengan berpijak pada objektivitas dan netralitas ilmu maka penguasaan alam atas nama ilmu pengetahuan mutlak menjadi sebuah keharusan. Pada gilirannya adalah penguasaan manusia lain atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia lainnya.

Di Jerman, lahir Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang merupakan kontra positivisme dan menolak pandangan ilmu bebas nilai. Menurut mazhab ini, di belakang selubung objektivitas ilmu-ilmu, tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan (Asep Ahmad Hidayat, 2009: 207). Salah satu pendiri Teori Kritis, Herbert Marcuse, menyoroti bagaimana rasionalitas modernitas berfungsi sebagai ideologi dan dominasi. Ia juga menegaskan bahwa cara berpikir para ilmuwan masyarakat modern telah membeku menjadi ideologi dan mitos (F. Budi Hardiman, 2009: 73). Menjadi ideologis karena penganut positivisme mengklaim bahwa hanya metodenya-lah yang memungkinkan kebenaran objektif tentang fakta.

Pakar yang lain, Gerald Doppelt (dalam Harold Kincaid dkk., 2007: 189-191) menyatakan bahwa komitmen nilai dan kepentingan praktis yang dimiliki manusia memberikan pengaruh pada praktek-praktek keilmuan, tidak hanya epistemis tapi juga non-epistemis. Dalam ranah epistemis, komitmen nilai dan kepentingan bisa menentukan pengetahuan yang kita cari; motif dalam mempraktekkan ilmu; konsep, metode, atau hipotesis yang digunakan; pertanyaan dan problema tertentu yang dipecahkan; dan dalam hal apa kegunaan ilmu pengetahuan diterapkan. Dan dalam ranah non-epistemis, komitmen nilai dan kepentingan menentukan tujuan pencarian bantuan dana keilmuwan atau dukungan, raihan penghargaan atau pengakuan bagi karya ilmiah, pembagian tugas keilmuan, lembaga yang membangun kerja ilmiah, pendidikan dan latihan para ilmuwan, dan komposisi komunitas ilmiah yang bersifat golongan, kesukuan, etnis, gender dan agama.

Pengaruh nilai dalam ranah epistemis juga dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (2010: 47). Dan tidak hanya itu, nilai juga akan menentukan dalam ranah ontologis dan aksiologis. Dalam pandangannya, nilai akan menentukan dalam:


1) memilih objek penelitian,
2) cara meneliti, dan
3) menggunakan hasil penelitian.

Masih dalam ranah epistemis, Hamid Fahmi Zarkasyi (2005) berpandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai, justru sebaliknya, yaitu sarat akan nilai. Pandangannya bertolak dari konsep worldview (pandangan dunia). Menurutnya, ilmu dalam tradisi manapun tidak lahir secara tiba-tiba. Fondasi bagi lahirnya suatu disiplin ilmu adalah worldview yang memiliki konsep-konsep keilmuan. Worldview ilmiah ini kemudian menghasilkan tradisi intelektual (tradisi ilmiah) dalam masyarakat dan selanjutnya lahirlah disiplin ilmu.

Sedikitnya terdapat lima bagian penting struktur worldview, yaitu struktur:
1) tentang kehidupan,
2) tentang dunia,
3) tentang manusia,
4) tentang nilai, dan
5) tentang pengetahuan.

Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan pengetahuan akan melahirkan struktur nilai, di mana konsep-konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang, maka strutktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.

Meskipun proses akumulasi kelima struktur di atas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan, tapi yang perlu dicatat bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konseptual dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berpikir kita. Di sini, dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan seseorang dengan worldview tertentu akan merupakan refleksi dari struktur-struktur worldview di atas. Inilah alasan mengapa ilmu tidak bebas nilai.

Dari penjelasan di atas, barangkali kita bisa memahami apa yang terkandung di balik ilmu. Kita hidup dalam suatu komunitas tertentu. Komunitas bukanlah suatu ruangan yang  hampa. Tapi di dalamnya terdapat adat istiadat, nilai, kepercayaan, yang akan membentuk cara pandang;  cara kita memaknai hidup, dunia, manusia, dan menentukan cara kita berbuat sesuatu. Sebagai penutup, saya kutip pernyataan Gerald Doppelt (dalam Harold Kincaid dkk., 2007: 189), berikut ini:

“If and when we recognize all these ways that groups’ interests andvalues typically shape the practices of science, the whole game seems tobe over for many scholars: value-free science is an illusion, end of story!” (189)


REFERENSI

Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsafat Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Kincaid, Harold dkk. (ed). 2007. Value-free science?. Oxford: Oxford University Press.

Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. 2006. 6th edition. Oxford: Oxford University Press.

Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Zarkasyi, Hamid Fahmi.2005. Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam. Majalah Islamia, thn. II no 5.

Read more

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting